Tulisan (Softskill)
Gadis Idaman
Dahi yang ditumbuhi sebuah jerawat tampak lebih mengkilat dari
biasanya. Sinar lampu sorot dari atas balkon yang mengarah ke altar yang
telah membuat lebih indah sesuatu yang sebenarnya memang sudah tampak
indah. Seorang gadis di deretan bangku depan dengan mata besar dan alis
yang lebat sudah lama memikat hatinya. Dia selalu melihat ada kilat
basah pada kedua matanya itu. Dia yakin kalau gadis itu selalu berdoa
dengan sungguh-sungguh. Pun ketika melantunkan lagu-lagu pujian.
Tampaknya ada semacam kerinduan yang mendalam dari gadis itu kepada
Tuhan. Lantas dia merasa harus mengenal gadis itu sesegera mungkin. Ya,
sesegera mungkin.
"Shalom," sapanya sembari tersenyum ketika
gadis itu baru saja hendak mendaratkan sebelah kakinya dari anak tangga
ke lantai dasar. Degup jantung lantas dirasa lebih cepat, sebab sebentar
lagi dia akan bisa memandang mata besar yang senantiasa basah dan dahi
yang tampak berkilat dengan sangat jelas.
“Shalom.” Gadis itu
kaget dan tersipu. Sungguh pemandangan yang terjadi seperti dalam
film-film romantis tahun 70an di mana istilah malu-malu kucing atau
jinak-jinak merpati sering didengar. Hanya saja ada sebuah pertanyaan
membuat segalanya berbeda.
“Ada apa, Kak?”
Lelaki
muda itu menelan ludah sebelum bercerita panjang lebar tentang
ketertarikan dirinya kepada gadis itu. Terlebih dia sudah berulang kali
melihat gadis itu menangis ketika berdoa. Lantas dia mengulurkan tangan
sambil menyebutkan nama sambil berharap gadis itu pun melakukan hal yang
sama.
“Anjas.” Sekali lagi diucapkan namanya. Kali ini terasa
lebih tegas karena gadis itu tak menyambut uluran tangannya terlebih
mengucapkan nama. Dan dia kembali termangu ketika tiba-tiba yang
dihadapinya hanyalah kekosongan, karena gadis itu berlari menjauh.
Minggu
berikutnya, dia masih menjumpai pemandangan yang sama. Gadis di deretan
bangku depan, hanya saja jerawat di dahinya sudah tidak ada. Makin
sempurna kecantikannya, demikian pikirnya. Tiba-tiba dia seperti
disadarkan sudah beberapa minggu dia datang ke gereja untuk melihat
gadis itu dan hal itu membuatnya tidak khusyuk berdoa kepada Tuhan.
Pandangannya kini menghujam di lantai keramik. Di depan, pendeta yang
sedang berkotbah mengumumkan ‘altar call’. Dan ujung matanya menangkap
gadis itu beranjak dari bangkunya.
“Shalom, Kak Anjas.”
Dia
dikejutkan dengan sapaan yang pernah didengarnya. Hanya saja kali ini
ada nada riang dari sapaan itu, tidak seperti waktu dia mendengar
jawaban yang terbata-bata dan penuh kemuraman. Dilihatnya gadis
idamannya sudah berdiri di depannya dan mengulurkan tangan kepadanya.
Menanti disambut.
“Hana.”
Demikianlah sebuah nama
meluncur dari bibirnya. Dia masih tidak percaya. Matanya menatap ke arah
mata besar yang masih menyisakan kilat basah karena menangis. Perlahan
tapi kemudian menjadi gerak yang cepat dan agak tergopoh, dia menyambut
tangan gadis yang kini telah bernama baginya.
“Shalom, Hana.”
Senyumnya
pun mengembang. Tangan yang dijabatnya kemudian terasa terayun ke
belakang, tanda minta dilepaskan dari jabatan tangannya, membuat dia
merasa malu telah terlena.
Tak lama keduanya pun mulai
bertukar kisah tentang berapa lama berbakti di gereja itu, sekolah di
mana, dan keluarga dengan akrab. Sementara di luar, angin yang membawa
awan mendung melempar-lempar sebuah daun dari jalan ke halaman gereja.
+++
“Aku ingin kamu mendengar sebuah cerita, Mas.”
Hana
menatap Anjas dengan tatapan yang sangat memelas. Yang ditatap merasa
sangat kaget dengan tatapan seperti itu. Seharusnya suasana di antara
mereka berdua adalah suasana yang indah, karena kurang dari tiga bulan
lagi Anjas berjanji akan membawa keluarganya untuk meminta Hana sebagai
istrinya.
“Tapi sebelumnya, aku minta kamu berjanji untuk tidak marah.”
Mendengar
kalimat kedua yang keluar dari mulut kekasihnya membuat ia berpikir
bahwa Hana akan menyampaikan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang bisa
dianggap sebagai rahasia seorang gadis semanis dia. Dia mencoba menatap
dalam-dalam ke mata Hana yang masih memancarkan rasa cemas.
Lidahnya
terasa kelu untuk mengiyakan atau menolak permintaan Hana. Dia masih
berpikir Hana akan membuat satu pengakuan. Mungkin pengakuan yang pernah
dia dengar dari kawan-kawannya tentang seorang gadis yang mengaku kalau
dirinya tidak perawan lagi ketika hendak menikah. Dia menarik nafas
dalam-dalam. Sungguh, dia tidak punya alasan untuk marah atau tidak. Dan
dia pun tidak mengerti apakah dia harus kecewa atau menghadapi hal
semacam itu dengan biasa-biasa saja. Lagi-lagi dia hanya bisa menatap
mata Hana. Sepasang mata yang bulat besar dan selalu memancarkan kilat
basah. Mata yang telah mengikatnya pada enam bulan perjalanan cinta
gadis dan jejaka.
“Apakah …”
Hanya itu yang keluar
dari mulutnya. Dia tidak mampu bertanya lebih lanjut. Sejujurnya dia
menunggu reaksi dari dirinya sendiri apabila sangkaannya itu benar
adanya. Mata itu masih menatap lekat kepadanya. Pasrah. Benar-benar
basah.
Dilihatnya Hana pun hanya mengangguk lalu memalingkan
wajahnya ke arah jendela. Cahaya matahari membuat wajahnya tampak lebih
terang. Dia menghela nafas panjang. Seperti tengah melepas beban yang
sangat berat. Tapi kemudian yang terjadi adalah Hana berdiri dan
melangkah ke arah pintu.
“Kak. Kenapa kamu tidak bertanya apa yang membuat aku tidak perawan lagi?”
Hana
mulai menangis. Sementara dia menduga Hana, dengan pertanyaannya itu,
sudah pasti menganggapnya egois. Sama seperti lelaki lain yang
menginginkan gadis idamannya masih dalam keadaan suci ketika dinikahi.
Seperti Shinta, seorang dewi yang dijaga kesuciannya selama diculik oleh
raja raksasa Rahwana dan juga lolos tanpa luka di hari pembakaran api
suci oleh suaminya Rama. Padahal dia hanya merasakan kebimbangan untuk
bersikap. Apakah dia akan mencontoh kelembutan ucapan Isa saaat bertemu
seorang pelacur Samaria di tepi sumur atau ia akan ikut menangis bersama
calon istri yang dicintainya dan menganggap dunia memang begitu jahat.
Dia
membiarkan Hana melangkah keluar rumah tanpa berusaha mencegahnya. Dia
tidak ingin merusak kesedihan, karena kesedihan adalah ruangan yang
paling dekat dengan ruang Tuhan. Maka dibiarkannya Hana membawa pulang
kesedihannya sebagaimana dia mengundang masuk kesedihannya sendiri ke
dalam hati.
Pagi hari, ketika dia mencabut charger telepon
genggamnya, dia menemukan sejumlah pesan pendek yang belum terbaca.
Semuanya dari Hana. Salah satu pesan pendek yang membuatnya begitu
bahagia adalah tentang doa dan pengampunan dari Hana untuk orang-orang
yang telah memperkosanya beberapa tahun silam. Kini dia tahu betapa Hana
lebih baik dari wanita-wanita yang pernah dia baca kisah-kisahnya. Hana
baginya adalah gadis idaman yang paling dia dambakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar