Tulisan (Softskill)
PLN Vs ROKOK
Majelis Ulama Indonesia baru-baru ini mengeluarkan fatwa penting
mengenai haramnya merokok. Fatwa ini menimbulkan kontroversi banyak
pihak, satu sisi mendukung tentang haramnya rokok dari sisi medis,
sedangkan yang di seberang menolak karena memandangnya bahwa fatwa
tersebut belum urgent dan bisa mengancam industri rokok yag ada di daerah dan tentu berpotensi menambah pengangguran terbuka yang ada di Indonesia.
Lain hal, LBM NU Jateng dan PCNU Jepara pada 1 September 2007.
Mubahatsah atau pembahasan yang diikuti sekitar 100 kiai dari wilayah
Jateng memutuskan bahwa PLTN Muria hukumnya haram, mengingat dampak
negatifnya lebih besar daripada dampak positifnya.
Lalu apa hubungan antara rokok dengan PLTN diatas? Keduanya difatwakan
haram oleh ulama, meskipun masih mengundang kontroversi. Terlepas dari
fatwa para ulama tersebut, sekarang kita akan membandingkan tingkat
bahaya antara rokok dengan PLTN dilihat dari radioaktifitasnya.
Jika kita merujuk data dari US Departmen of Health, Division of Radiation Protection
yang dikeluarkan tahun 2002, sinar kosmis menghasilkan dosis 26
mrem/tahun. Radioisotop di permukaan bumi mengandung 29 mrem/tahun. Gas
Radon di Atmosfer mengambil kontribusi sebesar 200mrem/tahun. Dalam
tubuh manusia pun memancarkan radiasi (dari Karbon - 14 dan Kalium - 40
) sebesar 40 mrem/tahun. Sinar X untuk diagnosa kesehatan memberikan
andil 39 mrem/tahun. Sedangkan aktivitas kedokteran nuklir lainnya
memberikan 14mrem/tahun. Instrumen elektronik seperti TV, komputer
memberikan 11 mrem/tahun. Dan sisa ledakan nuklir (fall out),
reaktor nuklir, pesawat terbang memberikan 1 mrem/tahun. Sehingga
total dosis yang diterima tiap manusia di AS secara rata-rata adalah
361 person mrem/tahun atau 0,3 person rem/tahun (1 rem = 1.000 mrem).
Hal ini dipenuhi dengan syarat yang bersangkutan tidak merokok.
Sebagai catatan, PLTN dengan daya 1.000 MWatt menghasilkan dosis radiasi
mencapai 4,8 person rem/tahun. Namun pemerintah AS membatasi agar
pekerja PLTN dan sektor nuklir lainnya hanya menerima dosis maksimum
sebesar 100 person mrem/tahun saja. Sementara dalam PLTU dengan daya
1.000 MWatt dengan tingkat radiasi 100 kali lebih besar (yakni 490
person rem/tahun), belum ditemui ada kebijakan yang sama.
Sedangkan untuk rokok ternyata diketahui mengandung Radioisotop
Polonium-210. Ini akan menambahkan dosis ekivalen sebesar 29,1 person
rem/tahun untuk manusia perokok. Dan akan didapatkan dalam jaringan
epitel paru-parunya dosis sebesar 6,6 - 40 person rem/tahun. Sementara
pada bronchiolus-nya sebesar 1,5 person rem/tahun.
Rokok ternyata tidak hanya mengandung polonium (210Po) namun juga timbal
(210Pb), yang keduanya termasuk dalam kelompok radionuklida dengan
toksik sangat tinggi. Po-210 adalah pemancar radiasi- α, sedangkan
Pb-210 adalah pemancar radiasi-ß. Kedua jenis radiasi tersebut, terutama
radiasi- α berpotensi untuk menimbulkan kerusakan sel tubuh apabila
terhisap atau tertelan. Kejadian kanker paru pada perokok pun belakangan
ditengarai lebih disebabkan oleh radiasi-α & bukan diakibatkan
karena tar dalam tembakau.
Lalu, bagaimana bisa 210Po & 210Pb bisa sampai di rokok? Ternyata
tanah, sebagai tempat tumbuh tanaman tembakau- bahan utama rokok,
mengandung radium (226Ra). Radium ini adalah atom induk yang nantinya
dapat meluruh dan dua di antara sekian banyak unsur luruhannya adalah
210Po & 210Pb. Melalui akar, 210Po & 210Pb pun terserap oleh
tanaman tembakau. Hal ini bisa diperparah dengan penggunaan pupuk fosfat
yang mengandung kedua unsur tersebut. Tentu saja ini menambah
konsentrasi 210Po & 210Pb dalam tembakau.
Mekanisme lain dan yang utama, adalah lewat daun. Po-210 & Pb-210
terendapkan pada permukaan daun tembakau sebagai hasil luruh dari gas
radon (222Rn) yang berasal dari kerak bumi & lolos ke atmosfer. Daun
tembakau memiliki kemampuan tinggi untuk menahan & kemudian
mengakumulasi 210Po & 210Pb karena adanya bulu-bulu tipis ~yang
disebut trichomes~ di ujung-ujungnya.
Meski aktivitasnya cukup rendah (3 - 5 mili Becquerel/batang) -
dibandingkan dengan ambang batas dosis mematikan Polonium-210 untuk
manusia berbobot 80 kg yakni sebesar 148 juta Becquerel (4 mili Curie).
Namun aktivitas merokok membuat Polonium-210 terhirup dan terdepositkan
ke dalam paru-paru tanpa bisa diekskresikan secara langsung oleh tubuh
mengingat sifatnya sebagai logam berat dan memiliki sifat kimiawi
mirip Oksigen sehingga tidak bisa diikat oleh CO2 maupun ion HCO3-
(kecuali ada perlakuan khusus dengan meminum pil EDTA misalnya, itupun
diragukan apa bisa melakukan Polonium removal di paru-paru).
Jika diasumsikan perokok yang bersangkutan mengkonsumsi rata-rata 2
bungkus rokok/hari selama lima tahun tanpa terputus, akumulasi
Polonium-210 nya sudah cukup mampu menghasilkan perubahan abnormal pada
alvoeli. Dan jika konsumsi terus berlanjut tanpa terputus, maka dalam
masa 10 - 15 tahun sejak awal menjadi perokok, perokok yang bersangkutan
sudah sangat berpotensi menderita kanker paru-paru, seperti nampak
pada penelitian di Brazil (berdasarkan tembakau setempat). Jika
konsumsi dikurangi menjadi 1 bungkus rokok/hari tanpa terputus, maka
baru dalam 25 - 30 tahun kemudian potensi menderita kanker paru-paru
mulai muncul.
Jadi jika pekerja sektor nuklir mendapatkan radiasi 100 person
mrem/tahun. Mereka yang bekerja di PLTU dan mereka yang merokok menerima
paparan radiasi berkali-kali lipat lebih besar. Jadi wajar saja jika
banyak mereka yang mati karena radiasi akibat rokok atau PLTU dibanding
para pekerja dalam sektor nuklir.
Dan jika kita ingin lebih ekstrim lagi, sebenarnya para warga
Semenanjung Muria (Kudus -Pati - Jepara), dimana disana banyak terdapat
industri rokok dan juga beberapa PLTU, sebenarnya sudah menkonsumsi
radiasi jauh-jauh hari bahkan sebelum PLTN dibangun.
Dari Berbagai Sumber
Tedy Tri Saputro
Mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir - BATAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar