Organisasi Non-Pemerintah, Masyarakat, dan Negara dalam Konteks Globalisasi
Organisasi Non-Pemerintah (Ornop/LSM) adalah perwujudan masyarakat sipil, yang menjadi jembatan antara keluarga dan negara.[1] Ornop juga diharapkan mampu mewakili kepentingan rakyat dan menyampaikannya kepada negara,[2]
dan memang selama ini sepertinya ornop mengambil alih tugas negara
dalam hal pemberdayaan masyarakat terutama soal kemiskinan dan
pendidikan.[3]
Di
negara-negara berkembang, khususnya mereka yang tersapu gelombang
demokratisasi, liberalisasi di bidang politik ternyata juga diikuti
dengan liberalisasi di bidang ekonomi, di saat yang bersamaan,
globalisasi telah membawa kebijakan-kebijakan neo-liberal bersamaan
dengan gelombang demokratisasi tersebut. Kebijakan-kebijakan ekonomi
neo-liberal ini kemudian menyebabkan mengecilnya peran negara, terutama
pada sektor pembiayaan publik, padahal demokratisasi hanya dapat
berkelanjutan pada masyarakat yang sejahtera, sebagaimana yang
diteorikan oleh Lipset. Ketika masyarakat dipaksa untuk bersaing dalam
kondisi pasar bebas dengan segala keterbatasan mereka, negara membiarkan
korporasi raksasa asing berkeliaran diwilayahnya atas nama liberalisasi
ekonomi. Kondisi yang demikian dipotret oleh Sangeeta Kamat untuk
mendefinisikan ulang peran ornop dalam masyarakat.
Menurut
Kamat, ornop ,dalam konteks global, tidak memiliki perbedaan dengan
pemerintahan, gerakan sosial, dan bahkan korporasi multinasional dalam
merepresentasikan kepentingan masyarakat.[4]
Dalam situasi yang demikian ornop harus bersaing lebih keras dalam
memperjuangkan kepentingannya, karena baik pemerintahan maupun korporasi
dapat dengan mudah memasukan kepentingannya atas nama masyarakat dengan
membentuk ornop yang serupa tapi membawa kepentingan mereka (pemerintah
dan korporasi).[5]
Hal tersebut adalah bagian dari strategi aktor kebijakan global dalam
memasukan peran ornop untuk memajukan agenda ekonomi dari institusi
mereka.
Sedangakan
strategi lainnya adalah melakukan depolitisasi pembangunan lokal,
sehingga ornop mengubah orientasinya dari penyadaran akan hak dan
peranan masyarakat untuk berpartisipasi dalam ranah politik lokal maupun
nasional, menjadi sekedar pemberdayaan masyarakat miskin agar mereka
dapat bersaing dalam sistem ekonomi pasar. Peran advokasi dan
pemberdayaan tersebut bukannya tidak baik, tetapi pemberdayaan
masyarakat miskin adalah tugas negara, dan ornop seharusnya mampu
membuat masyarakat memaksa negara melakukan hal tersebut, jika tugas itu
diambil oleh ornop, maka sesungguhnya masyarakat miskin akan semakin
terpinggirkan dalam ranah politik, partisipasi mereka hanya sebatas
pemilu, dan proses politik akan didominasi oleh kelompok elit.
Apa
yang dikemukakan oleh Kamat ada benarnya. Jika ornop mengambil alih
peran negara dalam hal pemberdayaan masyarakat miskin, mereka akan
terpinggirkan dari proses politik, padahal melalui proses politiklah
setiap kebijakan dibuat. Seharusnya ornop tidak terjebak dalam permainan
aktor kebijakan global, dan mampu mendorong masyarakat dan memaksa
pemerintah untuk melibatkan komponen yang lebih luas lagi dalam
pembuatan kebijakan
.
Di
Indonesia, demokratisasi menyebabkan kemudahan untuk membentuk
organisasi serupa, sebagaimana yang disampaikan Kamat, pada akhirnya
ornop akan mendapatkan posisi setara dalam memperjuangkan dan
menerjemahkan kepentingan publik dengan pemain-pemain lain,[6]
misalnya organisasi paramiliter berbasis agama yang melakukan
penyerangan terhadap tempat hiburan atas nama kepentingan publik padahal
menciderai demokrasi. Meski begitu, masih banyak ornop-ornop di
Indonesia yang berperan dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
lebih berperan aktif dalam mengawasi pemerintahan, terutama pengawasan
terhadap korupsi yang digalang (salah satunya) oleh Indonesian Coruption
Watch (ICW), dan terhadap masalah hak asasi manusia oleh Komite Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).[7]
Kesimpulan
Globalisasi
yang membawa demokratisasi dan ekonomi pasar, berdampak pada dua hal
yang berlawanan. Di satu sisi ia menyebabkan timbulnya berbagai ornop
sebagai pengawal kepentingan masyarakat, di sisi lain ia mengubah
strategi ornop dalam memainkan perannya di masyarakat. Dalam konteks
ekonomi pasar, peran negara dikerdilkan, dan tugas mereka hanyalah
sekedar menciptakan iklim investasi yang bersahabat agar korporasi asing
dapat berusaha dengan aman di negara mereka, sementara ornop
dimanfaatkan untuk mengambil alih peran negara dalam memberdayakan
masyarakat miskin, sementara negara mengurangi pengeluarannya di sektor
publik. Hal ini menyebabkan masyarakat semakin terpinggir dari proses
politik, sehingga seharusnya ornop dapat berperan dalam memperjuangkan
kepentingan masyarakat, dan mendesak negara untuk mengambil peran yang
lebih besar dalam pemberdayaan masyarakat miskin dan pengembangan
pendidikan.
[1] Robert P. Weller, Civil Life, Globalization, and Political Change in Asia: Organizing Between Family and State, (Oxon: Routledge), 2005. 3
[3] SangeetaKamat, “Privatization of Public Interest:Theorizing NGO Discourse in Neoliberal Era”, Review of International Political Economy, Vol. 11, No. 1, pp. 155-176. 164
[5] Ibid
[6] Philip Eldridge, “Nongovermental Organizations and Democratic Transition in Indonesia” dalam Weller, Op. Cit.165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar