Sabtu, 13 Oktober 2012

16. Perencanaan Pendidikan

Definisi Perencanaan Pendidikan
Dari berbagai pendapat atau definisi yang dikemukakan oleh para pakar manajemen, antara lain :
a.    Menurut, Prof. Dr. Yusuf Enoch
Perencanaan Pendidikan, adalah suatu proses yang yang mempersiapkan seperangkat alternative keputusan bagi kegiatan masa depan yang diarahkan kepadanpencapaian tujuan dengan usaha yang optimal dan mempertimbangkan kenyataan-kenyataan yang ada di bidang ekonomi, sosial budaya serta menyeluruh suatu Negara.

b.    Beeby, C.E.
Perencanaan Pendidikan adalah suatu usaha melihat ke masa depan ke masa depan dalam hal menentukan kebijaksanaan prioritas, dan biaya pendidikan yang mempertimbangkan kenyataan kegiatan yang ada dalam bidang ekonomi, social, dan politik untuk mengembangkan potensi system pendidikan nasioanal memenuhi kebutuhan bangsa dan anak didik yang dilayani oleh system tersebut.

c.    Menurut Guruge (1972)
Perencanaan Pendidikan adalah proses mempersiapkan kegiatan di masa depan dalam bidang pembangunan pendidikan.

d.    Menurut Albert Waterson (Don Adam 1975)
Perencanaan Pendidikan adala investasi pendidikan yang dapat dijalankan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan lain yang di dasarkan atas pertimbangan ekonomi dan biaya serta keuntungan sosial.

e.    Menurut Coombs (1982)
Perencanaan pendidikan suatu penerapan yang rasional dianalisis sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakat.

f.    Menurut Y. Dror (1975)
Perencanaan Pendidikan adalah suatu proses mempersiapkan seperangkat keputusan untuk kegiatan-kegiatan di masa depan yang di arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan cara-cara optimal untuk pembangunan ekonomi dan social secara menyeluruh dari suatu Negara.
Jadi, definisi perencanaan pendidikan apabila disimpulkan dari beberapa pendapat tersebut, adalah suatu proses intelektual yang berkesinambungan dalam menganalisis, merumuskan, dan menimbang serta memutuskan dengan keputusan yang diambil harus mempunyai konsistensi (taat asas) internal yang berhubungan secara sistematis dengan keputusan-keputusan lain, baik dalam bidang-bidang itu sendiri maupun dalam bidang-bidang lain dalam pembangunan, dan tidak ada batas waktu untuk satu jenis kegiatan, serta tidak harus selalu satu kegiatan mendahului dan didahului oleh kegiatan lain.
Secara konsepsional, bahwa perencanaan pendidikan itu sangat ditentukan oleh cara, sifat, dan proses pengambilan keputusan, sehingga nampaknya dalam hal ini terdapat banyak komponen yang ikut memproses di dalamnya. Adapun komponen-komponen yang ikut serta dalam proses ini adalah :
1.    Tujuan pembangunan nasional bangsa yang akan mengambil keputusan dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam bidang pendidikan.
2.    Masalah strategi adalah termasuk penanganan kebijakan (policy) secara operasional yang akan mewarnai proses pelaksanaan dari perencanaan pendidikan. Maka ketepatan pelaksanaan dari perencanaan pendidikan.

Dalam penentuan kebijakan sampai kepada palaksanaan perencanaan pendidikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : siapa yang memegang kekuasaan, siapa yang menentukan keputusan, dan faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Terutama dalam hal pemegang kekuasaan sebagai sumber lahirnya keputusan, perlu memperoleh perhatian, misalnya mengenai system kenegaraan yang merupakan bentuk dan system manajemennya, bagaimana dan siapa atau kepada siapa dibebankan tugas-tugas yang terkandung dalam kebijakan itu. Juga masalah bobot u ntuk jaminan dapat terlaksananya perencanaan pendidikan. Hal ini dapat diketahui melalui output atau hasil system dari pelaksanaan perencanaan pendidikan itu sendiri, yaitu dokumen rencana pendidikan.
Dari beberapa rumusan tentang perencanaan pendidikan tadi dapat dimaklumi bahwa masalah yang menonjol adalah suatu proses untuk menyiapkan suatu konsep keputusan yang akan dilaksanakan di masa depan. Dengan demikian, perencanaan pendidikan dalam pelaksanaan tidak dapat diukur dan dinilai secara cepat, tapi memerlukan waktu yang cukup lama, khususnya dalam kegiatan atau bidang pendidikan yang bersifat kualitatif, apalagi dari sudut kepentingan nasional.

SEJARAH PERENCANAAN PENDIDIKAN
Konsep dasar perencanaan pendidikan telah dikenal pada 25 abad yang lalu, yaitu sejak bangsa Sparta mengembangkan sistem pendidikan yang ditujukan untuk membantu manusia Sparta di bidang militer, sosial dan ekonomi. Plato dalam bukunya, Republic menyatakan bahwa perencanaan sekolah bertujuan untuk melayani masyarakat.
Pada abad ke-18 ditemukan tulisan yang berkenaan dengan perencanaan pendidikan yang berjudul Perencanaan Universitas di Rusia karya Diderot. Selanjutnya, pada abad ke-19 sudah terdapat beberapa perencanaan pembangunan sekolah dan perencanaan pendidikan guru.
Setelah perang dunia ke I, pada tahun 1923, Rusia dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun I merupakan Negara pertama yang menerapkan konsep perencanaan pendidikan, kemudian diikuti Prancis (1929), Amerika Serikat (1933), Swiss (1941), dan Puerto Rico pada tahun 1941.

Teori Perencanaan Pendidikan
Menurut Hudson dalam Tanner dalam Maswarita (2010), teori perencanaan meliputi, antara lain: synoptic, incremental, transactive, advocacy, dan radikal. Selanjutnya di kembangkan oleh tanner (1981) dengan nama teori SITAR sebagai penggabungan dari taksonomi Hudson.
1.    Teori Synoptic
Disebut juga system planning, rational system approach, rasional comprehensive planning. Menggunakan model berfikir system dalam perencanaan, sehingga objek perencanaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulat, dengan satu tujuan yang disbebut visi. Langkah-langkah dalam perencanaan ini meliputi :
a.    pengenalan masalah,
b.    mengestimasi ruang lingkup problem
c.    mengklasifikasi kemungkinan penyelesaian,
d.    menginvestigasi problem,
e.    memprediksi alternative,
f.    mengevaluasi kemajuan atas penyelesaian spesifik.

Didasarkan pada kemampuan institusi dan kinerja personalnya. Bersifat desentralisasi dan tidak cocok untuk jangka panjang. Jadi perencanaan ini menekankan perencanaan dalam jangka pendek saja. Yang dimaksud dengan desentralisasi pada teori ini adalah si perencana dalam merencanakan objek tertentu dalam lembaga pendidikan, selalu mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan.

2.    Teori transactive
Menekankan pada harkat individu yang menjunjung tinggi kepentingan pribadi dan bersifat desentralisasi, suatu desentralisasi yang transactive yaitu berkembang dari individu ke individu secara keseluruhan. Ini berarti penganutnya juga menekankan pengembangan individu dalam kemampuan mengadakan perencanaan.

3.    Teori advocacy
Menekankan hal-hal yang bersifat umum, perbedaan individu dan daerah diabaikan. Dasar perencanaan tidak bertitik tolak dari  pengamatan secara empiris, tetapi atas dasar argumentasi yang rasional, logis dan bernilai advocacy (mempertahankan dengan argumentasi).
Kebaikan teori ini adalah untuk kepentingan umum secara nasional. Karena ia meningkatkan kerja sama secara nasional, toleransi, kemanusiaan, perlindungan terhadap minoritas, menekankan hak sama, dan meningkatkan kesejahteraan umum. Perencanaan yang memakai teori ini tepat dilaksanakan oleh pemerintah/ atau badan pusat.

4.    Teori radikal
Teori ini menekankan pentingnya kebebasan lembaga atau organisasi lokal untuk melakukan perencanaan sendiri, dengan maksud agar dapat dengan cepat mengubah keadaan lembaga supaya tepat dengan kebutuhan.
Perencanaan ini bersifat desentralisasi dengan partisipasi maksimum dari individu dan minimum dari pemerintah pusat / manajer tertinggilah yang dapat dipandang perencanaan yang benar. Partisipasi disini juga mengacu kepada pentingnya kerja sama antar personalia. Dengan kata lain teori radikal menginginkan agar lembaga pendidikan dapat mandiri menangani lembaganya. Begitu pula pendidikan daerah dapat mandiri menangani pendidikannya.

5.    Teori SITAR
Merupakan gabungan kelima teori diatas sehingga disebut juga complementary planning process. Teori ini menggabungkan kelebihan dari teori diatas sehingga lebih lengkap. Karena teori ini memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat atau lembaga tempat perencanaan itu akan diaplikasikan, maka teori ini menjadi SITARS yaitu S terakhir adalah menunjuk huruf awal dari teori situational. Berarti teori baru ini di samping mengombinasikan teori-teori yang sudah ada penggabungan itu sendiri ada dasarnya ialah menyesuaikan dengan situasi dan kondisi lembaga pendidikan dan masyarakat. Jadi dapat kita simpulkan bahwa teori-teori diatas mempunyai persamaan dan pebedaannya.
Persamaannya:
1.    Mempunyai tujuan yang sama yaitu pemecahan masalah
2.    Mempunyai obyek perencanaan yang sama yaitu manusia dan lingkungan sekitarnya.
3.    Mempunyai beberapa persyaratan data, keahlian, metode, dan mempunyai konsistensi internal walaupun dalam penggunaannya terdapat perbedaan penitikberatan.
4.    Mempertimbangkan dan menggunakan sumberdaya yang ada dalam pencapaian tujuan

Sedangkan Perbedaannya adalah :
1.    Perencanaan synoptic lebih mempunyai pendekatan komprehensif dalam pemecahan masalah dibandingkan perencanaan yang lain, dengan lebih mengedepankan aspek-aspek metodologi, data dan sangat memuja angka atau dapat dikatakan komprehensif rasional. Hal ini yang sangat minim digunakan dalam 4 pendekatan perencanaan yang lain.
2.    Perencanaan incremental lebih mempertimbangkan peran lembaga pemerintah dan sangat bertentangan dengan perencanaan advokasi yang cenderung anti kemapanan dan perencanaan radikal yang juga cenderung revolusioner.
3.    Perencanaan transactive mengedepankan faktor – faktor perseorangan / individu melalui proses tatap muka dalam salah satu metode yang digunakan, perencanaan ini kurang komprehensif dan sangat parsial dan kurang sejalan dengan perencanaan Synoptic dan Incremental yang lebih komprehensif.
4.    Perencanaan advocacy cenderung menggunakan pendekatan hukum dan obyek yang mereka ambil dalam perencanaan adalah golongan yang lemah. Perencanaan ini bersifat sosialis dengan lebih mengedepankan konsep kesamaan dan hal keadilan sosial.
5.    Perencanaan Radikal seakan – akan tanpa metode dalam memecahkan masalah dan muncul dengan tiba-tiba (spontan) dan hal ini sangat kontradiktif dengan pendekatan incremental dan synoptic yang memepertimbangkan aturan – aturan yang ada baik akademis/metodologis dan lembaga pemerintahan yang ada.

Pendekatan Social Demand
1.    Pengertian pendekatan Social Demand
Menurut Vembrianto (1985:46) “Pendekatan kebutuhan sosial atau social demand adalah suatu pendekatan dalam perencanaan pendidikan yang didasarkan atas tuntutan atau kebutuhan sosial akan pendidikan”.
Pendekatan sosial demand atau kebutuhan sosial atau tuntutan sosial adalah suatu istilah yang kabur dan mengcaukan(jarang digunakan oleh pendidik) dan dapat diartikan bermacam-macam. “Arti yang paling umum digunakan adalah kumpulan tuntuntan yang umum untuk memperoleh pendidikan, yakni jumlah dari tuntutan individu akan pendidikan di suatu tempat, pada suatu waktu tertentu, di dalam suatu budaya politik dan ekonomi tertentu”. (Coombs, 1982:33)
Sedangkan menurut A. W. Guruge dalam Udin S (2005:234) “Pendekatan kebutuhan sosial adalah pendekatan tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas demi memenuhi tekanan-tekanan untuk memasukkan sekolah serta memungkinkan pemberian kesempatan kepada pemenuhan keinginan-keinginan murid dan orangtuanya secara bebas”.
Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut dengan pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang hendak dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan pendidikan dasar, pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf), dan pemberian layanan pendidikan untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Oleh karena itu, pendekatan kebutuhan sosial ini biasanya dilaksanakan pada negara yang baru merdeka dengan kondisi masyarakat yang masih terbelakang kondisi pendidikan dan sosial ekonominya.
Menurut Timan (2004:25) terdapat beberapa kritik utama yang ditujukan pada pendekatan sosial demand dalam perencanaan pendidikan, antara lain:
a.    Pendekatan ini tidak memikirkan tentang berapa sumber-sumber biaya yang tersedia untuk pendidikan.
b.    Dalam pendekatan ini tidak diingat adanya sifat dan pola tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia perekonomian dan akan berlebih-lebihan menghasilkan tenaga skerja dalam satu bidang sedangkan yang lainnya sangat kekurangan.
c.    Pendekatan ini cenderung memberikan stimulasi demand yang berlebihan, understimate dalam pembiayaan, dan mengarahkan pembagian sumber yang sangat kecil.

Menurut Davis dalam Effendi (2000:24) Social demand diaplikasikan pada tiga bentuk perencanaan yang berbeda, bentuk-bentuk tersebut antara lain adalah:
1.    Bila yang ditargetkan adalah pendidikan dasar, biasanya dinyatakan dalam term-term demografis, misalnya semua anak yang berumur 7-12 th mendapatkan pendidikan dasar.
2.    Bila rencana mentargetkan pada tujuan nasional yang ditunjang oleh nilai-nilai etis sosial, misalnya semua warga Negara berhak atas pendidikan dasar.
3.    Bila proyeksi rencana didasarkan pada analisis kebutuhan yang disamakan untuk semua tingkat dan jenis pendidikan.

2.    Kelebihan pendekatan Social Demand
Ada beberapa kelebihan dalam penggunaan pendekatan kebutuhan sosial dalam perencanaan pendidikan. Di antara sisi positif dari pendekatan ini antara lain adalah pendekatan ini lebih cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau negara yang baru merdeka dengan kondisi kebutuhan sosial, khususnya layanan pendidikan masih sangat rendah atau masih banyak yang buta huruf. Selain itu pendekatan ini akan lebih cepat dalam memberikan pemerataan layanan pendidikan dasar yang dibutuhkan pada warga masyarakat, karena keterbelakangan di bidang pendidikan akibat penjajahan, sehingga layanan pendidikan yang diberikan langsung bersentuhan dengan kebutuhan sosial yang mendasar yang dirasakan oleh masyarakat.

3.    Kekurangan pendekatan Social Demand
Selain kelebihan, pendekatan kebutuhan sosial ini juga memiliki beberapa kekurangan. Menurut Arifin (2010) kekurangan pendekatan sosial ini antara lain adalah:
a.    Pendekatan ini cenderung hanya untuk menjawab persoalan yang dibutuhkan masyarakat pada saat itu, yaitu pemenuhan kebutuhan atau tuntutan layanan pendidikan dasar sebesar-besarnya, sehingga mengabaikan pertimbangan efisiensi pembiayaan pendidikan.
b.    Pendekatan ini lebih menekankan pada aspek kualitas (jumlah yang terlayani sebanyak-banyaknya), sehingga kurang memperhatikan kualitas dan efektivitas pendidikan. Oleh karena itu pendekatan ini terkesan lebih boros.
c.    Pendekatan ini mengabaikan ciri-ciri dan pola kebutuhan man power yang diperlukan di sektor kehidupan ekonomi, dengan demikian hasil atau output pendidikan cenderung kurang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.
d.    Pendekatan ini lebih menekankan pada aspek pemerataan pendidikan (dimensi kuantitatif) dan kurang mementingkan aspek kualitatif. Di samping itu pendekatan ini kurang memberikan jawaban yang tepat dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan, karena lebih menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan sosial, sementara aspek atau bidang kehidupan yang lain kurang diperhatikan.

Ada tiga kritik yang penting sehubungan dengan pendekatan tuntutan sosial ini, khususnya yang dilancarkan oleh para ahli ekonomi; yaitu sebagai berikut (Coombs, 1987:35).
1.    Pendekatan ini mengabaikan masalah besarnya sumber alokasi nasional dan menganggap bahwa tidak menjadi masalah berapa banyak sumber itu mengalir untuk pendidikan yang seharusnya dapat dipakai dengan baik untuk pembangunan nasional secara keseluruhan.
2.    Pendekatan ini mengabaikan sifat dan macam tenaga kerja yang dihasilkan yang diperlukan oleh sektor ekonomi, jenis tertentu terlalu banyak dan jenis lain berkurang
3.    Pendekatan ini cenderung terlalu merangsang timbulnya tuntutan masyarakat untuk memperoleh pendidikan, meremehkan biaya, dan memeratakan sumber dana yang terbatas untuk terlalu banyak murid yang mengakibatkan menurunnya kualitas dan efektifitas sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi sesuatu bentuk penanaman modal yang diragukan.

Maswarita (2010) Pendekatan model kebutuhan sosial ini didasarkan atas keperluan masyarakat saat ini dan menitik beratkan pada pemerataan pendidikan seperti wajib belajar (wajar 9 tahun). Kekurangannya pendekatan model ini adalah:
1.    mengabaikan alokasi dalam skala nasional,
2.    mengabaikan kebutuhan perencanaan ketenagakerjaan,
3.    cenderung hanya menjawab problem pemerataan dengan lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas pendidikan.

4.    Tujuan pendekatan Social Demand
Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan yang mengandung misi pembebasan terutama bagi negara-negara berkembang yang kemerdekaannya baru saja diperoleh setelah melalui perjuangan pembebasan yang sangat lama. Pendidikan membebaskan rakyat dari rasa ketakutan, dari penjajahan, kebodohan dan kemiskinan. Misi pembebasan yang menjiwai tuntutan terhadap pendidikan merupakan tekanan keras bagi penyelenggara pendidikan.
Dengan melihat karakteristik tuntutan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan ini lebih menekankan pemerataan kesempatan atu kuantitatif, dibandingkan dengan aspek kualitatif. Karena itu pendidikan dasar merupakan prioritas utama yang harus diberikan kepada setiap anak usis SD. Kewajiban belajar merupakan manifestasi dari tuntutan sosial ini untuk membebaskan populasiusia sekolah dari tuna aksara.
Tujuan pendekatan ini adalah untuk memenuhi tuntutan atu permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktutertentu dalam situasi perekonomian politik dan kebudayan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampung seluruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan. Jika jumlah tempat yang tersedia masih lebih kecil daripadajmlah tempat yang seharusnya ada, maka dikatakan bahwa permintaan masyarakat melebihi penyediaan.

5.    Analisis Kebutuhan Sosial
Apabila pendekatan kebutuhan sosial ini dipergunakan, maka tugas para perencana pendidikan harus memperkirakan kebutuhan pada masa yang akan datang dengan menganalisa:
a.    Pertumbuhan penduduk
b.    Partisipasi dalam pendidikan (yakni dengan menghitung prosentase penduduk yang bersekolah)
c.    Arus murid dari kelas satu ke kelas yang lebih tinggi dan dari satu tingkat ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi (misalnya dari SD ke SLTP ke SMA dan ke perguruan tinggi).
d.    Pilihan atau keinginan masyarakatdari individu tentang jenis-jenis pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar