30. Perencanaan Partisipatif
Perencanaan
Sebelum masuk dalam pembahasan perencanaan
partisipatif ada baiknya jika kita menyimak mode perencanaan yang ada,
diantanranya model perencanaan bersifat Top Down dan Bottom Up.
Perencanaan dengan model Top Down ini dilaksanakan
oleh sekelompok elit politik, melibatkan lebih banyak teknokrat,
mengandalkan otoritas & diskresi. Adapun argumentasi top-down adalah:
- Efisiensi
- Penegakan aturan (enforcement)
- Konsistensi input-target-output
- Publik/masyarakat masih sulit dilibatkan
Perencanaan dengan model Bottom Up ini dilaksanakan secara kolektif, melibatkan unsur-unsur governance,mengandalkan persuasi, co-production. Dan argumentasi bottom-up adalah:
- Efektivitas
- Kinerja (performance, outcome),bukan sekadar hasil seketika
- Social virtue (kearifan sosial)
- Masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.
Partisipasi
Istilah Partisipasi menurut Mikkelsen biasanya digunakan di masyarakat dalam berbagai makna umum, diantaranya: (2005, 53-54)
- Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu
proyek (pembangunan), tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses
pengambilan keputusan.
- Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.
- Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang
ataupun kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan
mempunyai otonomi untuk melakukan hal itu.
- Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara komunitas lokal
dan pihak penyelenggara proyek dalam rangka persiapan,
pengimplenetasian, pemantauan dan pengevaluasian staf agar dapat
memperoleh informasi tentang konteks sosial maupun dampak sosial proyek
terhadap masyarakat.
- Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat.
- Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri.
Tiga bentuk partisipasi (Chambers dalam Mikkelsen, 2005, 54):
1. Cosmetic Label
Sering digunakan agar proyek yang diusulkan terlihat
lebih cantik sehinga lembaga donor maupun pihak pemerintah akan mau
membiayai proyek tersebut.
2. Coopting Practice
Digunakan untuk memobilisasi tenaga-tenaga di tingkat lokal dan mengurangi pembiayaan pryek.
3. Empowering Process
Dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan
masyarakat lokal untuk melakukan analisis masalah mereka, memikirkan
bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri untuk
mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif
pemecahan masalah apa yang ingin mereka pilih.
Perencanaan Partisipatif
Perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas
sejak munculnya metode partisipatif yang biasa disebut Participatory
Rural Appraisal. Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari
masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai
dari pengenalan wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada penentuan
skala prioritas.
Perencanaan partisipatif saat ini mulai merambah ke
tingkat makro atau lebih pada pengembangan kebijakan, biasanya kegiatan
ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga Non Pemerintah (NGO’s). Selain
itu perencanaan partisipatif banyak dilakukan di tingkat mikro seperti
pada tingkat masyarakat maupun di tingkat individu.
Secara garis besar perencanaan partisipatif
mengandung makna adanya keikutsertaan masyarakat dalam proses
perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis masalah mereka,
memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri
untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif
pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.
Tiga alasan utama mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu (Conyers, 1991, 154-155)
- Alasan pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhandan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
- Alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau proram pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut.
- Alasan ketiga adalah karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan.
Alasan lainnya dikemukakan oleh Amartya Sen dimana Ia
mengemukana ada 3 alasan mengapa harus ada demokasi dan Perencanaan
Partisipatif (Amartya Sen, 1999:148)
- Demokrasi dan partisipasi sangat penting peranannya dalam pengembangan kemampuan dasar.
- Instrumental role untuk memastikan bahwa rakyat bisa mengungkapkan dan mendukung klaim atas hak-hak mereka, di bidang politik maupun ekonomi
- Constructive role dalam merumuskan “kebutuhan” rakyat dalam konteks sosial.
Sejarah Partisitasi dalam Pembangunan
Pada tahun 1960-an, yang dimaksud dengan partisipasi
adalah adanya transfer atau alih pengetahuan atau teknologi dari luar
untuk menjadikan orang atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri.
Pada tahun 1970-an Partisipasi lebih dikenal sebagai
usaha untuk mengentaskan kemiskinan dan berkaitan dengan kases terhadap
sumber-sumber pembangunan. Ada 3 perspektif besar:
- Masyarakat berpartisipasi sebagai pihak yang menerima manfaat dari pembangunan. Partisipasi dilakukan untuk masyarakat, umumnya masyarakat diundang untuk ditanyakan apa kebutuhan mereka yang nantinya akan dimasukkan dalam program pembangunan.
- Partisipasi dilihat sebagai suatu proses dan di kendalikan oleh orang-orang yang mengenalikan pembangunan. Partisipasi ini berkaitan pula dengan demokrasi dan keadilan.
- Partisipasi melibatkan bekerja dengan masyarakat daripada bekerja untuk mereka. Partisipasi bentuk ini lebih melihat hubungan antara pelaksana pembangunan dan pemanfaan hasil pembangunan.
Pada tahun 1980-an Partisipasi dikenal dengan istilah
Proyek dalam Masyarakat, dan ini menyebabkan semakin dikenalnya
partisipasi sebagai suatu pendekatan dalam proyek-proyek dan
program-program pembangunan. Terdapat 2 paradigma yang berkembang saat
ini, yaitu:
- Metode yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga seperti Stakeholder analysis, social analysis, beneficiary assessment, logical framework analysis. Semua ini merupakan toolkits yang diterapkan oleh perencana sosial untuk mempromosikan partisipasi ditingkat pemangku kepentingan dalam melakukan pengidentifikasian di tingkat awal.
- Metode-metode yang dipromosikan oleh pengembang metode partisipatori seperti PRA, Rapid Rural Appraisal, Partisipatory Learning and Action, Partisipatory Appraisal and Learning Methods dan sebagainya yang memungkina masyarakat untuk berbagi, mengenal dan menganalisa pengetahuan yang mereka miliki serta kondisi mereka dan melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Pada tahun 1990-an Partisipasi lebih dilihat sebagai
kemitraan, koordinasi atau kepemilikan dari program dan adanya fungsi
kontrol/ kendali dari masyarakat itu sendii terhadap sumber daya yang
mereka miliki. Pada dekade ini mulai ada perubahan paradigma mengenai
apa yang disebut masyarakat, mulai ada perubahan dari penerima manfaat
dari pembangunan kepada pemangku kepentingan, dengan asumsi kalau
masyarakat disebut sebagai penerima manfaat sifatnya lebih pasif
dibandingkan dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan.
Pada tahun 2000-an Partisipasi mulai berubah yang
dahulu hanya berkisar pada lingkungan mikro saat ini mulai merambah ke
tataran makro, dengan adanya partisipasi dalam penentuan atau
pembentukan kebijakan.
Tipologi Partisipasi Masyarakat atau Individu
Passive Participation, masyarakat
berpartisipasi karena memang diharuskan untuk ikut serta dalam proses
pembangunan, tanpa ada kemampuan untuk merubah.
Participation in information giving,
partisipasi masyarakat hanya sebatas memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh perencana pembangunan dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Namun masyarakat tidak punya
kemampuan untuk mempengaruhi mempengaruhi dalam pembuatan pertanyaan,
dan tidak ada kesempatan untuk mencek ketepatan dari hasil penelitian
yang telah dilakukan.
Participation by consultation,
partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk konsultasi, ada pihak luar
sebagai pendengar yang berusaha mendefinisikan permasalahan yang
dihadapi masyarakat dan merumuskan solusinya. Dalam proses konsultasi
ini tidak ada pembagian dalam penentuan keputusan, semua dikerjakan oleh
pihak luar yang diberi mandat untuk mngerjakan ini.
Participation for material incentives,
partisipasi ini lebih pada masyarakat memberikan sumber daya yang
mereka punya seperti tenaga dan tanah, kemudian akan diganti dalam
bentuk makanan, uang, atau penggantian dalam bentuk materi lainnya.
Functional participation, partisipasi masyarakat terjadi dengan membentuk kelompok-kelompok atau kepanitiaan yang diprakarsai/ didorong oleh pihak luar.
Interactive participation,
masyarakat dilibatkan dalam menganalisis dan perencanaan pembangunan.
Dalam tipe partisipasi ini, kelompok mungkin saja dapat dibentuk
bersama-sama dengan lembaga donor dan mempunyai tugas untuk
mengendalikan dan memutuskan semua permasalahan yang terjadi di tingkat
lokal.
Self-mobilization, masyarakat secara
mandiri berinisiatif untuk melakukan pembangunan tanpa ada campur
tangan dari pihak luar, kalau pun ada, peran pihak luar hanya sebatas
membantu dalam penyusunan kerangka kerja. Mereka mempunyai fungsi
kontrol penuh terhadap sumber daya yang akan digunakan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakatnya.
Catalysing change, Partisipasi
dengan membentuk agen perubah dalam masyarakat yang nantinya dapat
mengajak atau mempengaruhi masyarakatnya untuk melakukan perubahan.
Optimum Participation, lebih
memfokuskan pada konteks dan tujuan dari pembangunan dan itu akan turut
menetukan bentuk dari partisipasi yang akan dipergunakan. Partisipasi
akan optimal jika turut memperhatikan secara detail pada siapa yang akan
berpartisipasi karena tidak semua orang dapat berpartisipasi, dan
dengan metode ini pula dapat membantu menentukan strategi yang optimal
dalam pembangunan.
Manipulation, ada sejumlah
partisipasi namun tidak memiliki kekuasaan yang nyata, masyarakat
membentuk suatu kelompok atau kepanitiaan namun tidak memiliki kekuasaan
untuk menentukan arah pembangunan.
Permasalahan dalam Perencanaan Partisipatif.
- Keterlibatan masyarakat akan terjadi secara sukarela jika perencanaan dilakukan secara desentralisasi, dan kegiatan pembangunan selalu diarahkan pada keadaan atau kepentingan masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi maka partisipasi masyarakat akan sulit terjadi karena masyarakat tidak akan berpartisipasi jika kegiatan dirasa tidak menarik minat mereka atau partisipasi mereka tidak berpengaruh pada rencana akhir.
- Partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak mengetahui atau tidak mempunyai gagasan mengenai rangkaian pilihan yang seharusnya mereka pilih, maka tidak mengherankan apabila masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, sering meminta hal-hal yang tidak mungkin atau hal lain yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan mereka. Jadi ada kemungkinan skala prioritas akan berbeda antara pihak pemerintah dan masyarakat.
- Batasan dari wilayah kerja dapat menjadi permasalahan, hal ini berkaitan dengan batas wilayah administratif atau batas wilayah komunitas (adat). Terkadang masyarakat yang akan dibina dibatasi oleh wilayah administratif (negara), namun pada kenyataannya masyarakat yang akan dibina mempunyai suatu ikatan (batasan adat) lain yang turut menetukan luas wilayah mereka. Hal ini berkaitan dengan penentuan wilayah kerja dan pelibatan partisipasi masyarakat.
- Permasalah lain adalah berkaitan dengan perwakilan yang ditunjuk, terkadang wakil masyarakat yang ditunjuk sebagai penentu kebijakan atau dalam pembuatan perencanaan sosial tidak mengakomodir elemen-elemen yang ada di dalam masyarakat, perlu diingat bahwa masyarakat tidak selalu homogen. Maka akan ada potensi konflik apabila perwakilan yang ditunjuk tidak mengakomodir kepentingan masyarakat.
- Adanya kesenjangan komunikasi antara perencana sosial dengan petugas lapangan yang bertugas mengumpulkan informasi guna penyusunan perencanaan sosial. Ada usaha untuk melibatkan masyarakay lokal dalam pengumpulan informasi namun tingkat kemampuan masyarakat lokal beragam dan terkadang tidak sesuai dengan harapan para perencana.
- Tidak terpenuhinya harapan juga turut menghambat adanya partisipasi msyarakat, seperti tidak berpengaruhnya partisipasi mereka terhadap hasil pembangunan, adanya ekspektasi yang berlebih dari masyarakat yang tidak terpenuhi, atau bahkan pelaksanaan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah disusun secara bersama.
- Permasalah lain yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif adalah adanya anggapan bahwa perencanaan partisipatif adalah suatu kegiatan yang tidak efektif dan membuang-buang waktu. Memang perencanaan partisipatif bukanlah suatu perkara yang mudah, karena melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan membutuhkan waktu, uang dan tenaga yang tidak sedikit. Perencanaan partisipatif pun membutuhkan kapasitas organisasi yang tidak kecil.
- Ada konflik yang timbul antara kepentingan daerah atau lokal dengan kepentingan nasional. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang, disatu sisi pemerintah pusat memandang bahwa hal tertentu merupakan prioritas utama, namun disatu sisi pemerintah daerah atau masyarakat hal tersebut bukanlah prioritas utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar