Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang 
melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka terutama pelaksanaan tugas 
dan kewenangan di bidang penuntutan dan melaksanakan tugas dan 
kewenangan di bidang penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana 
korupsi dan Pelanggaran HAM berat serta kewenangan lain berdasarkan 
undang-undang. Pelaksanaan kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh:
- Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung
 yang merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi 
kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang 
Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan 
oleh presiden.
 
- Kejaksaan tinggi,
 berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah 
provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan tinggi
 yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, 
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah 
hukumnya.
 
- Kejaksaan negeri,
 berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi 
wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan Negeri dipimpin oleh seorang kepala 
kejaksaan negeri yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan 
yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan 
di daerah hukumnya. Pada Kejaksaan Negeri tertentu terdapat juga Cabang 
Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.
 
 Sejarah
 Sebelum reformasi
Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada 
zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan 
Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu 
pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini 
berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam 
bahasa Sanskerta.
Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa 
adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat 
Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim 
yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang 
pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim
 tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang 
mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim 
tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang 
peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit 
yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan 
jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini 
yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan 
Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), 
Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof 
(Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten 
Residen.
Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai 
perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan 
Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni 
antara lain:
Mempertahankan segala peraturan Negara Melakukan penuntutan segala 
tindak pidana Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang 
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam 
menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang 
terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi 
difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan 
tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei 
No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada 
pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan 
agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan 
negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki
 kekuasaan untuk:
Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran Menuntut Perkara 
Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal. Mengurus 
pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum. Begitu Indonesia 
merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik 
Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, 
yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. 
Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan
 peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang 
Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.
Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak 
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. 
Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia 
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan 
dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan 
Departemen Kehakiman.
Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika 
secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem 
pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik 
Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring 
dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, 
organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami 
berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi 
masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.
Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar 
pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan 
Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok 
Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara
 penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), 
penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa 
Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan 
Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka 
sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi
 departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang 
Pembentukan Kejaksaan Tinggi.
Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan 
RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada
 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
 Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan 
organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada 
adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.
 Masa reformasi
Masa Reformasi hadir di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap 
pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya 
dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa 
reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, 
yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk 
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang 
ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan 
eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan 
pemerintah, maupun pihak lainnya.
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 
ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang
 melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan 
lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses 
perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan 
hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah 
suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat 
bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang 
Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana 
putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang 
Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan 
dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang 
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Mengacu pada UU tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang 
diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini
 tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan 
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang 
penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, 
tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan 
pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi 
jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya 
berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran 
lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini mestinya 
dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi korupsi. 
Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana 
korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami oleh 
Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya. 
Kendala tersebut antara lain:
- Modus operandi yang tergolong canggih;
 
- Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya;
 
- Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan berbagai peraturan;
 
- Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan;
 
- Manajemen sumber daya manusia;
 
- Perbedaan persepsi dan interprestasi; (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada)
 
- Sarana dan prasarana yang belum memadai; dan
 
- Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum.
 
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan 
pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat 
sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama. Undang-Undang Tindak 
Pidana Korupsi yang lama yaitu UU No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang 
bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini 
diatur pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan 
sanksi yang lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan 
UU ini juga dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor 
karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang 
kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi 
juga tidak bisa diselesaikan oleh UU ini.
Akhirnya, UU No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas 
menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang 
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai 
hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa 
melalui pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan luas, 
independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan 
pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai 
extraordinary crime .
Karena itu, UU No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan
 Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
 tindak pidana korupsi. Sementara untuk penuntutannya, diajukan oleh 
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang terdiri dari Ketua
 dan 4 Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat bidang, yakni 
Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan 
Pengaduan masyarakat.
Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan 
penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian 
dan Kejaksaan RI. Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang diambil
 adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan 
fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan.
 Tugas dan wewenang kejaksaan
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas
 dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
- Melakukan penuntutan;
 
- Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
 
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
 
- Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
 
- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan 
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam 
*pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
 
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa 
khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
 nama negara atau pemerintah
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
- Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
 
- Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
 
- Pengamanan peredaran barang cetakan;
 
- Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
 
- Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
 
- Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
 
Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan 
dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah 
sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena 
bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal 
yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. 
Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di 
samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan 
dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. 
Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan 
wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak 
hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian 
Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam 
bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.
    
    
      
        
        
      
TUGAS & WEWENANG
Berdasarkan Pasal 30 Undang Undang 
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berikut adalah
 tugas dan wewenang Kejaksaan.
Di bidang pidana :
 
- melakukan penuntutan;
 
- melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
 
- melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
 
- melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang;
 
- melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
 pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam 
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
 
 
Di bidang perdata dan tata usaha negara :
Kejaksaan
 dengan kuasa khusus, dapat bertindak baik di dalam maupun di luar 
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
 
- peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
 
- pengamanan kebijakan penegakan hukum;
 
- pengawasan peredaran barang cetakan;
 
- pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
 
- pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
 
- penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.