Sejarah Singkat Pertina
Oleh: Bidang Humas PP Pertina
Hari lahir Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina), secara resmi tercatat 30 Oktober 1959. Sebelum Pertina lahir, dulu ada organisasi tinju bernama Persatuan Tinju dan Gulat (Pertigu). Ketika itu tinju dan gulat tidak dapat dipisahkan karena pembinaannya secara bersamaan.
Ketua Umum Pertigu Frans Mendur berhasil mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman. Tetapi sangat disayangkan, dalam perjalanannya Pertigu ternyata kurang berhasil memberikan kemajuan bagi olahraga tinju amatir.
Pertigu dianggap lebih banyak berperan dalam mengembangkan olahraga tinju bayaran. Pada saat itu pertandingan tinju berlangsung di pasar malam dan atletnya mendapat bayaran dari penyelenggara. Di dalam tubuh Pertigu tidak ada pemisahan yang jelas tentang tinju amatir dan tinju bayaran.
Karena ketidakjelasan tersebut, olahraga tinju tidak dapat dipertandingkan dalam kegiatan nasional termasuk PON (Pekan Olahraga Nasional).
PON I yang berlangsung 23 September-6 Oktober 1948 di Surakarta, Jawa Tengah, tidak mempertandingkan tinju. Pada PON II 21-28 Oktober 1951 Jakarta dan PON III 20-27 Oktober 1953 Medan, tinju tetap tidak bisa diterima. Apalagi yang boleh ikut PON adalah atlet-atlet amatir dan ini sesuai dengan semangat dan ketentuan Olimpiade dan International Olympic Committee (IOC).
Pada tahun 1956 muncul gagasan agar tinju amatir dan tinju bayaran dipisah sehingga dalam Pertigu ada tiga bagian; tinju amatir, tinju bayaran, dan gulat.
Usul tersebut diterima Ketua Umum Pertigu Frans Mendur sehingga pada penyelenggaraan PON IV/1957 Makassar, tinju amatir dapat dipertandingkan, sampai sekarang. Ketika itu diputuskan petinju yang boleh mengikuti PON hanyalah yang benar-benar belum pernah mengikuti pertandingan tinju bayaran.
Setelah tinju boleh ikut PON, tinju amatir terus berupaya supaya lebih baik dan keluar dari Pertigu. Sehingga pada 30 Oktober 1959 lahirlah Pertina.
Lahirnya Pertina tidak lepas dari kerja keras Letkol CPM Sudharto Sudiono yang sangat terkenal di kalangan pengurus dan petinju pada tahun itu. Secara berani Sudharto atau lebih akrab disapa sebagai Pak Dharto, berhasil menggalang kekuatan untuk melahirkan Persatuan Tinju Nasional Amatir, yang sekarang lebih dikenal dengan Persatuan Tinju Amatir Indonesia. Tidak lama, Pertina mendapat pengakuan dari AIBA sebagai organisasi tinju amatir satu-satunya di Tanah Air.
Untuk menyambut lahirnya Pertina, pada bulan November 1959 diadakanlah pertandingan tinju amatir yang sangat menggemparkan dan pertama di Stadion Ikada, Jakarta. Ketika itu penulis artikel ini belum bisa menulis dan membaca karena masih orok. Penulis belum mengerti apa-apa terlebih tentang Pertina. Tulisan ini bisa tersusun karena sejumlah file telah mengajari penulis supaya mengenal Pertina lebih dalam.
Perjalanan 50 tahun Pertina telah mencatat sejumlah nama yang sangat dihormati, baik sebagai pengurus maupun sebagai atlet. Tetapi dalam tulisan singkat ini sangat tidak mungkin untuk menyebut nama-nama yang telah berjasa membangun dan membesarkan Pertina.
Dalam kepengurusan Pertina ada satu nama yang telah memberikan hidup dan pemikirannya untuk tinju amatir secara total. Beliau adalah Saleh Barah, yang menjadi ketua umum Pertina sejak tahun 1971-1988. Saleh Basarah tiga kali menjabat sebagai ketua umum.
Setelah Saleh Basarah menolak meneruskan kepengurusan. Ketua umum berikutnya adalah Sahala Radjagukguk, Paul Toding, Sang Nyoman Suwisma, Nono Sampono, Setya Novanto dan sekarang Reza Ali.
Harus diakui masa kepengurusan Saleh Basarah adalah masa emas bagi ring tinju amatir Indonesia. Sampai tahun 80-an muncul nama-nama hebat seperti Wiem Gommies (juara kelas menengah Asian Games dua kali dan juara kelas menengah Asia), Frans VB (juara kelas welter Asia, Syamsul Anwar Harahap (juara kelas welter ringan Asia), Ferry Moniaga (juara kelas bantam Asia), Benny Maniani (juara kelas berat ringan Asia), Hendrik Simangunsong (juara Asia kelas menengah ringan), dan Pino Bahari (juara kelas menengah Asian Games). Pino adalah generasi terakhir yang mampu memberikan prestasi emas tingkat Asia untuk Pertina.
Sampai sekarang, belum ada petinju Indonesia yang berhasil merebut medali dari arena Olimpiade maupun dunia. Dalam benak kita kerap muncul pertanyaan seperti ini: “Siapa petinju Indonesia pertama yang berhasil merebut medali olimpiade maupun kejuaraan dunia?”
Oleh: Bidang Humas PP Pertina
Hari lahir Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina), secara resmi tercatat 30 Oktober 1959. Sebelum Pertina lahir, dulu ada organisasi tinju bernama Persatuan Tinju dan Gulat (Pertigu). Ketika itu tinju dan gulat tidak dapat dipisahkan karena pembinaannya secara bersamaan.
Ketua Umum Pertigu Frans Mendur berhasil mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman. Tetapi sangat disayangkan, dalam perjalanannya Pertigu ternyata kurang berhasil memberikan kemajuan bagi olahraga tinju amatir.
Pertigu dianggap lebih banyak berperan dalam mengembangkan olahraga tinju bayaran. Pada saat itu pertandingan tinju berlangsung di pasar malam dan atletnya mendapat bayaran dari penyelenggara. Di dalam tubuh Pertigu tidak ada pemisahan yang jelas tentang tinju amatir dan tinju bayaran.
Karena ketidakjelasan tersebut, olahraga tinju tidak dapat dipertandingkan dalam kegiatan nasional termasuk PON (Pekan Olahraga Nasional).
PON I yang berlangsung 23 September-6 Oktober 1948 di Surakarta, Jawa Tengah, tidak mempertandingkan tinju. Pada PON II 21-28 Oktober 1951 Jakarta dan PON III 20-27 Oktober 1953 Medan, tinju tetap tidak bisa diterima. Apalagi yang boleh ikut PON adalah atlet-atlet amatir dan ini sesuai dengan semangat dan ketentuan Olimpiade dan International Olympic Committee (IOC).
Pada tahun 1956 muncul gagasan agar tinju amatir dan tinju bayaran dipisah sehingga dalam Pertigu ada tiga bagian; tinju amatir, tinju bayaran, dan gulat.
Usul tersebut diterima Ketua Umum Pertigu Frans Mendur sehingga pada penyelenggaraan PON IV/1957 Makassar, tinju amatir dapat dipertandingkan, sampai sekarang. Ketika itu diputuskan petinju yang boleh mengikuti PON hanyalah yang benar-benar belum pernah mengikuti pertandingan tinju bayaran.
Setelah tinju boleh ikut PON, tinju amatir terus berupaya supaya lebih baik dan keluar dari Pertigu. Sehingga pada 30 Oktober 1959 lahirlah Pertina.
Lahirnya Pertina tidak lepas dari kerja keras Letkol CPM Sudharto Sudiono yang sangat terkenal di kalangan pengurus dan petinju pada tahun itu. Secara berani Sudharto atau lebih akrab disapa sebagai Pak Dharto, berhasil menggalang kekuatan untuk melahirkan Persatuan Tinju Nasional Amatir, yang sekarang lebih dikenal dengan Persatuan Tinju Amatir Indonesia. Tidak lama, Pertina mendapat pengakuan dari AIBA sebagai organisasi tinju amatir satu-satunya di Tanah Air.
Untuk menyambut lahirnya Pertina, pada bulan November 1959 diadakanlah pertandingan tinju amatir yang sangat menggemparkan dan pertama di Stadion Ikada, Jakarta. Ketika itu penulis artikel ini belum bisa menulis dan membaca karena masih orok. Penulis belum mengerti apa-apa terlebih tentang Pertina. Tulisan ini bisa tersusun karena sejumlah file telah mengajari penulis supaya mengenal Pertina lebih dalam.
Perjalanan 50 tahun Pertina telah mencatat sejumlah nama yang sangat dihormati, baik sebagai pengurus maupun sebagai atlet. Tetapi dalam tulisan singkat ini sangat tidak mungkin untuk menyebut nama-nama yang telah berjasa membangun dan membesarkan Pertina.
Dalam kepengurusan Pertina ada satu nama yang telah memberikan hidup dan pemikirannya untuk tinju amatir secara total. Beliau adalah Saleh Barah, yang menjadi ketua umum Pertina sejak tahun 1971-1988. Saleh Basarah tiga kali menjabat sebagai ketua umum.
Setelah Saleh Basarah menolak meneruskan kepengurusan. Ketua umum berikutnya adalah Sahala Radjagukguk, Paul Toding, Sang Nyoman Suwisma, Nono Sampono, Setya Novanto dan sekarang Reza Ali.
Harus diakui masa kepengurusan Saleh Basarah adalah masa emas bagi ring tinju amatir Indonesia. Sampai tahun 80-an muncul nama-nama hebat seperti Wiem Gommies (juara kelas menengah Asian Games dua kali dan juara kelas menengah Asia), Frans VB (juara kelas welter Asia, Syamsul Anwar Harahap (juara kelas welter ringan Asia), Ferry Moniaga (juara kelas bantam Asia), Benny Maniani (juara kelas berat ringan Asia), Hendrik Simangunsong (juara Asia kelas menengah ringan), dan Pino Bahari (juara kelas menengah Asian Games). Pino adalah generasi terakhir yang mampu memberikan prestasi emas tingkat Asia untuk Pertina.
Sampai sekarang, belum ada petinju Indonesia yang berhasil merebut medali dari arena Olimpiade maupun dunia. Dalam benak kita kerap muncul pertanyaan seperti ini: “Siapa petinju Indonesia pertama yang berhasil merebut medali olimpiade maupun kejuaraan dunia?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar