Berbicara mengenai fungsi dan wewenang Kejaksaan, maka terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dari Kejaksaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang tertulis :
Kejaksaan
Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan
adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
disebutkan bahwa Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara merdeka dan Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah satu dan tidak terpisahkan.
Dalam pelaksanaan kekuasaan negara khususnya di bidang penegakan
hukum diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan
Negeri, dan masing-masing tingkatan Kejaksaan mempunyai wilayah hukum.
Kejaksaan Agung yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia, Kejaksaan
Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi dan Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.
Mengenai wewenang kejaksaan yang diatur dalam Undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, terdapat beberapa bidang di
antaranya bidang pidana, perdata dan tata usaha negara serta bidang ketertiban
dan kesejahteraan umum namun penulis hanya membatasi pada persoalan kewenangan
di bidang pidana. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam bidang pidana diatur dalam
Pasal 30 ayat (1) Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia yang tertulis :
a. melakukan
penuntutan;
b.
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) dapat kita lihat
bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan memang sangat menentukan dalam membuktikan
apakah seseorang atau korporasi terbukti melakukan suatu tindak pidana atau
tidak. Selain tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1), maka
dimungkinkan pula Kejaksaan diberikan tugas dan wewenang tertentu berdasarkan
Undang-Undang yang lain selain Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia misalnya dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang
Tindak Pidana Terorisme. Hal ini diatur dalam Pasal 32 Undang Nomor 16 Tahun
2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang tertulis :
“Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini,
kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang”.
Dalam hal penuntutan pihak Kejaksaan sebagai Penuntut Umum setelah
menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik segera setelah menunjuk
salah seorang jaksa untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil
penelitiannya diajukan kepada Kepala keJaksaan Negeri (KAJARI). Menurut Leden
Marpaung (1992:19-20) bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
proses penuntutan yaitu :
a. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena ternyata
belum lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan penyidik
(prapenuntutan)
b. Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas
c. Hasil penyidikan telah lengkap tetapi tidak terdapat bukti
cukup atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya
disarankan agar penuntutan dihentikan. Jika saran disetujui maka diterbitkan
surat ketetapan. Atas surat ketetapan dapat diajukan praperadilan.
d. Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan
Negeri. Dalam hal ini KAJARI menerbitkan surat penunjukan Penuntutan Umum.
Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan rampung kemudian
dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri.
Selain tugas dan wewenang Kejaksaan yang diatur dalam Undang Nomor
16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, juga di dalam KUHAP diatur
tugas dan kewenangan tersebut. Berdasarkan hal tersebut menurut Djoko Prakoso
(1988:23-25) dapat diinventarisir kewenangan yang diatur dalam KUHAP tersebut
sebagai berikut :
a.
Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah
mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal
109 ayat (1)) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik pegawai
negeri sipil yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan
dihentikan demi hukum.
b. Menerima berkas
perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b. dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima
berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12).
c. Mengadakan
prapenuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal
110 ayat (3), (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2).
d. Memberikan
perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2), melakukan penahanan rumah (Pasal 22
ayat (2), penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)), serta mengalihkan jenis penahanan
(Pasal 23).
e. Atas permintaan
tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut
penangguhan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan
(Pasal 31).
f. Mengadakan
penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak
mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu
memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh
tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1)).
g. Melarang atau
mengurangi kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka sebagai
akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat (4)) dan mengawasi hubungan
antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan (Pasal
71 ayat (1)) dan dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengar
isi pembicaraan tersebut (Pasal 71 ayat (2)).
h. Meminta
dilakukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menerima sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal 80
ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana
pengawasan secara horizontal.
i. Dalam perkara
koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari
oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara
tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat (1)).
j. Menentukan sikap
apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk
dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).
k. Mengadakan tindakan
lain antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan
memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut
umum dan pengadilan (Pasal 14 huruf i).
l. Apabila penuntut
umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka
dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat
(1).
m. Membuat surat penetapan
penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a.
n. Melanjutkan
penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan dikarenakan adanya alasan baru
(Pasal 140 ayat (2) huruf d).
o. Mengadakan
penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan (Pasal 141).
p. Mengadakan
pemecahan penuntutan (splitsing) terhadap satu berkas perkara yang
memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal
142).
q. Melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan beserta berkas
perkara (Pasal 143 ayat (1).
r. Membuat surat
dakwaan (Pasal 143 ayat (2).
s.
Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan
penuntutan, penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan
menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang
dimulai (Pasal 144).
Keseluruhan tugas dan kewenangan pihak Kejaksaan baik yang diatur
dalam Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia maupun
KUHAP, semuanya dapat digunakan oleh pihak Kejaksaan dalam usaha penegakan
hukum tanpa terkecuali dan berdasarkan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh
kejaksaan, maka dapat dilihat bahwa antara penyidik, penuntut umum dan hakim
dalam rangka melaksanakan penegakan hukum di bidang pidana ini dapatlah
dikatakan sebagai rangkaian kegiatan yang satu sama lain saling
menunjang.
2.3. Tugas dan
Wewenang Kejaksaan Menurut Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme
Mengenai fungsi Kejaksaan baik dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan maupun dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Terorisme yaitu sebagai Penuntut Umum yang bertugas
memberikan dakwaan terhadap terdakwa pada saat persidangan pengadilan, hanya
saja dalam hal kewenangan yang dimiliki ada penambahan dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003, namun tidak menggugurkan kewenangan yang dimiliki oleh
Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan dan kewenangan
tersebut tetap melekat pada Institusi Kejaksaan. Mengingat bahwa tindak pidana
terorisme ini tergolong tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime),
maka dalam ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme juga diatur
ketentuan yang bersifat khusus yang mengecualikan beberapa ketentuan di
antaranya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya Pasal
25 KUHAP mengenai masa Penahanan dan ketentuan tentang kerahasiaan Bank. Dalam
undang-undang terorisme ini juga diatur hukum pidana materiil dan hukum pidana
formil dan harus diingat salah satu asas hukum yang menyatakan bahwa aturan
yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umumj dengan kata
lain ketentuan khusus harus lebih didahulukan berlakunya daripada ketentuan
umum (lex specialis derogat legi generali).
Kewenangan yang dimiliki oleh pihak Kejaksaan sebagai penuntut
umum diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme khususnya Pasal 25 ayat
(2) yang tertulis :
Untuk
kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan
penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan, jangka waktu 6 (enam)
bulan yang dimaksud dalam ketentuan ini terdiri dari 4 (empat) bulan untuk
kepentingan penyidikan dan 2 (dua) bulan untuk kepentingan penuntutan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (2) tersebut, dapat
dikatakan bahwa alasan sehingga jangka waktu proses penuntutan yang lebih lama
jika dibandingkan dengan KUHAP dikarenakan tindak pidana terorisme merupakan
kejahatan yang terorganisir dan modus operandi yang digunakan bersifat modern
sehingga diperlukan waktu yang relatif lebih lama guna membuktikan tindak
pidana tersebut. Sehingga dengan banyaknya waktu yang diberikan pihak Kejaksaan
sebagai Penuntut Umum diharapkan dapat mengungkap kejahatan terorisme.
Kewenangan lain yang dimiliki oleh Kejaksaan sebagai penuntut umum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme yaitu dalam Pasal
29 ayat (1) sebagaimana tertulis :
Penyidik,
penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa
keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang
diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan atau
tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.
Lebih lanjut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana
Terorisme juga disebutkan bahwa :
Untuk
kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik,
penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan
lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau
patut diduga melakukan tindak pidana terorisme.
Dari kedua ketentuan tersebut Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 30 ayat
(1), maka pihak Kejaksaan selaku penuntut umum dapat melakukan penerobosan
terhadap kerahasiaan bank, hal ini dilakukan guna mempermudah mengumpulkan
bukti-bukti yang berhubungan dengan tindak pidana terorisme serta mengungkap
kejahatan terorisme tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar