DESENTRALISASI EKONOMI
Pembangunan
ekonomi daerah dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional berarti menjadikan
perekonomian daerah sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Sebagai
agregasi dari ekonomi daerah, perekonomian nasional yag tangguh hanya mungkin
diwujudkan melalui perekonomian daerah yang kokoh. Rapuhnya perekonomian
nasional selama ini di satu sisi dan parahnya disparitas ekonomi antar daerah
dan golongan di sisi lain mencerminkan bahwa perekonomian Indonesia di masa
lalu tidak berakar kuat pada ekonomi daerah.
Dalam
kerangka pembangunan ekonomi daerah, desentralisasi ekonomi bukan sekedar
pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, tetapi paling tidak
harus diterjemahkan dalam tiga aspek perubahan penting. Pertama,
“pendaerahan” pengelolaan pembangunan ekonomi (perencanaan, pembiayaan,
pelaksanaan, dan evaluasi) yang sebelumnya lebih didominasi pemerintah pusat
dialihkan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat tidak perlu
lagi terlampau banyak intervensi secara langsung dalam pembangunan ekonomi
daerah, tetapi perlu diberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk
berkreasi dan mengambil inisiatif dalam pembangunan ekonomi di daerahnya
masing-masing. Kedua, swastanisasi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Di
masa lalu, dengan kebijakan pembangunan yang sentralis atau top down,
pemerintah cenderung terlalu banyak menangani dan mengatur kegiatan-kegiatan
ekonomi yang sebenarnya dapat ditangani secara lebih efisien oleh swasta atau
rakyat, baik secara individu maupun melalui badan usaha. Peran pemerintah yang
terlalu dominan dalam pembangunan ekonomi selain memboroskan penggunaan
anggaran negara, juga telah banyak mematikan kreativitas ekonomi rakyat dan
kelembagaan lokal. Di masa yang akan datang, jika desentralisasi ekonomi
benar-benar akan diwujudkan, maka rasionalisasi pelaksanaan pembangunan ekonomi
harus benar-benar dilakukan. Paradigma lama yang menganggap pembangunan adalah
seolah-olah adalah “karya agung” pemerintah harus diubah menjadi pembangunan
merupakan kreativitas rakyat. Kegiatan ekonomi yang dapat dilaksanakan oleh
rakyat atau swasta harus diserahkan kepada rakyat atau swasta. Ketiga,
organisasi dan kelembagaan pembangunan ekonomi juga harus mengalami perubahan.
Di masa lalu, untuk “memberhasilkan” kebijakan pembangunan yang top down,
pemerintah sering membentuk organisasi dan kelembagaan baru (yang oleh
pemerintah dianggap modern) dan “meminggirkan” organisasi dan kelembagaan
lokal. Contohnya, kelembagaan lumbung keluarga dan desa yang telah teruji
kemampuannya sebagai kelembagaan ketahanan pangan lokal digantikan oleh
BULOG/DOLOG/SUB DOLOG, kelembagaan sistem bagi hasil digantikan oleh sistem
kelembagaan PIR, bapak angkat atau kemitraan, kelembagaan tata ekosistem desa
diganti dengan RT-RW, kelembagaan tanah lokal disingkirkan oleh Undang-Undang
Pokok Agraria, dan lain sebagainya.
Penyingkiran
organisasi dan kelembagaan lokal telah menyebabkan rakyat kehilangan
kemandirian dalam memecahkan permasalahannya sendiri. Dimasa yang akan datang
untuk mengembangkan ekonomi daerah, maka seyogyanya organisasi dan kelembagaan
lokal harus dibangkitkan kembali dan dimodernisasi (bukan digantikan) menjadi
organisasi dan kelembagaan pembangunan daerah. Ketiga aspek tersebut sejalan
dengan pemikiran dalam konsep otonomi daerah dengan kebijaksanaan pembangunan
yang bersifat bottom-up.
Dengan
ketiga perubahan tersebut diharapkan perekonomian daerah akan digerakkan oleh
kreativitas rakyat beserta kelembagaan lokal sedemikain rupa, sehingga potensi
ekonomi yang terdapat di setiap daerah dapat dimanfaatkan demi kemajuan ekonomi
daerah yang bersangkutan. Agar pembangunan ekonomi daerah dapat benar-benar dinikmati
oleh rakyat, maka sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di setiap daerah
haruslah sektor ekonomi yang dapat mendayagunakan sumber daya yang terdapat
atau dikuasai oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar