Jumat, 11 Januari 2013

64. Desentralisasi Pendidikan

Konsep desentralisasi merujuk kepada pengalihan–kalau tidak dikatakan pembagian–wewenang pengambilan keputusan dan tanggung jawab pelaksanaan tugas. Secara spesifik, yakni adanya proses pengalihan wewenang (transfer of authority) dalam organisasi pendidikan dari satu tingkatan yang lebih tinggi kepada tingkatan lain yang lebih rendah. Tingkatan pemegang wewenang dalam dunia pendidikan sendiri pada dasarnya terletak pada empat level: pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, distrik, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, dan sekolah atau satuan pendidikan (Welsh dan McGinn dalam Fundamentals of Educational Planning Vol 64; 1999). Dalam dimensi apa wewenang tersebut dapat dimaknai secara saksama?
Fiske menegaskan bahwa modus-vivendi pengalihan wewenang dalam desentralisasi pendidikan berada pada dua level. Pertama, desentralisasi yang bersifat politis, yaitu proses pelibatan seluruh warga atau perwakilan mereka maupun anggota masyarakat lain di luar sistem pemerintahan dalam otoritas pengambilan keputusan. Desentralisasi politis pun kemudian diandaikan untuk lebih banyak terlibat dalam konsultasi serta untuk mendapatkan persetujuan dari partai politik yang terlibat. Kedua, desentralisasi yang bersifat administratif, yaitu kekuasaan tetap berada di level pemerintah pusat, sedangkan pengalihan tanggung jawab serta wewenang dalam perencanaan pendidikan, manajemen pendidikan, pembiayaan pendidikan, dan aktivitas lainnya kepada level yang lebih rendah, seperti pemerintah daerah atau badan semiotonom yang dibentuk oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, desentralisasi yang bersifat administratif pada akhirnya tidak akan banyak melibatkan pihak lain di luar struktur pemerintahan.
Dari perspektif manajemen, desentralisasi pendidikan yang bersifat administratif dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, jika dalam sistem sentralisasi mekanisme implementasi kebijakan dilakukan di pusat dengan melibatkan unsur birokrasi yang lamban dan gemuk, dalam sistem desentralisasi, pelaksanaan kebijakan menjadi efisien karena dilakukan dengan cepat oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Pada saat yang sama, motivasi untuk meningkatkan produktivitas akan lebih dirasakan oleh para pengelola pendidikan di daerah, karena desentralisasi pendidikan ikut merangsang prakarsa proaktif pengelola pendidikan dalam menjalankan pendidikan di daerahnya. Namun juga harus digarisbawahi bahwa desentralisasi pendidikan mungkin saja dapat menghasilkan dampak negatif yang tidak diharapkan.
Pada beberapa kasus dalam kebijakan desentralisasi, wewenang pemerintah daerah terhadap pengelolaan keuangan daerah dirasa begitu besar. Implikasinya, pembangunan dan investasi bidang pendidikan di daerah sangatlah tergantung pada visi besar pembangunan pemerintah daerah itu sendiri. Maka menjadi kerugian jika pemerintah di daerah lebih mengutamakan keuntungan pembangunan jangka pendek seperti infrastruktur jalan dan irigasi, ketimbang investasi jangka panjang seperti pendidikan (Paqueo & Lammert, 2000).
Penting juga untuk diketahui bahwa desentralisasi pendidikan biasanya dilandasi beberapa faktor seperti pembiayaan pendidikan, peningkatan efisiensi dan efektivitas, redistribusi kekuasaan, peningkatan mutu pendidikan, dan peningkatan inovasi (Winkler, 1999). Pengalihan wewenang dalam desentralisasi pendidikan juga dapat diartikan berada dalam empat pendekatan, yakni dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi (Rondinelli, 1984). Dalam bingkai manajemen, desentralisasi pendidikan sekolah mampu memotong jarak pengelolaan pendidikan, baik dari spektrum perencanaan maupun pembiayaan, sehingga diharapkan mampu menghasilkan penyediaan layanan pendidikan yang efisien dan dapat dinikmati oleh semua warga negara (Winkler & Yeo, 2007).
Kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia mengalami lompatan pendekatan setelah adanya reformasi. Setelah lama menjalankan pola sentralisasi pembangunan dengan menggunakan pendekatan dekonsentrasi, maka setelah diundangkannya peraturan mengenai wewenang pemerintah daerah (UU No 22 dan UU No 25 Tahun 1999), kebijakan desentralisasi pendidikan mulai dikembangkan dengan menggunakan pendekatan devolusi (SMERU, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar