Konsep
desentralisasi merujuk kepada pengalihan–kalau tidak dikatakan
pembagian–wewenang pengambilan keputusan dan tanggung jawab pelaksanaan tugas.
Secara spesifik, yakni adanya proses pengalihan wewenang (transfer of
authority) dalam organisasi pendidikan dari satu tingkatan yang lebih tinggi
kepada tingkatan lain yang lebih rendah. Tingkatan pemegang wewenang dalam
dunia pendidikan sendiri pada dasarnya terletak pada empat level: pemerintah
pusat, pemerintah daerah provinsi, distrik, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota, dan sekolah atau satuan pendidikan (Welsh dan McGinn dalam
Fundamentals of Educational Planning Vol 64; 1999). Dalam dimensi apa wewenang
tersebut dapat dimaknai secara saksama?
Fiske
menegaskan bahwa modus-vivendi pengalihan wewenang dalam desentralisasi
pendidikan berada pada dua level. Pertama, desentralisasi yang bersifat
politis, yaitu proses pelibatan seluruh warga atau perwakilan mereka maupun
anggota masyarakat lain di luar sistem pemerintahan dalam otoritas pengambilan
keputusan. Desentralisasi politis pun kemudian diandaikan untuk lebih banyak
terlibat dalam konsultasi serta untuk mendapatkan persetujuan dari partai
politik yang terlibat. Kedua, desentralisasi yang bersifat administratif, yaitu
kekuasaan tetap berada di level pemerintah pusat, sedangkan pengalihan tanggung
jawab serta wewenang dalam perencanaan pendidikan, manajemen pendidikan,
pembiayaan pendidikan, dan aktivitas lainnya kepada level yang lebih rendah,
seperti pemerintah daerah atau badan semiotonom yang dibentuk oleh pemerintah
pusat. Oleh karena itu, desentralisasi yang bersifat administratif pada
akhirnya tidak akan banyak melibatkan pihak lain di luar struktur pemerintahan.
Dari
perspektif manajemen, desentralisasi pendidikan yang bersifat administratif
dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, jika dalam
sistem sentralisasi mekanisme implementasi kebijakan dilakukan di pusat dengan
melibatkan unsur birokrasi yang lamban dan gemuk, dalam sistem desentralisasi,
pelaksanaan kebijakan menjadi efisien karena dilakukan dengan cepat oleh
pemerintah daerah kepada masyarakat. Pada saat yang sama, motivasi untuk
meningkatkan produktivitas akan lebih dirasakan oleh para pengelola pendidikan
di daerah, karena desentralisasi pendidikan ikut merangsang prakarsa proaktif
pengelola pendidikan dalam menjalankan pendidikan di daerahnya. Namun juga
harus digarisbawahi bahwa desentralisasi pendidikan mungkin saja dapat
menghasilkan dampak negatif yang tidak diharapkan.
Pada
beberapa kasus dalam kebijakan desentralisasi, wewenang pemerintah daerah
terhadap pengelolaan keuangan daerah dirasa begitu besar. Implikasinya,
pembangunan dan investasi bidang pendidikan di daerah sangatlah tergantung pada
visi besar pembangunan pemerintah daerah itu sendiri. Maka menjadi kerugian
jika pemerintah di daerah lebih mengutamakan keuntungan pembangunan jangka
pendek seperti infrastruktur jalan dan irigasi, ketimbang investasi jangka
panjang seperti pendidikan (Paqueo & Lammert, 2000).
Penting juga
untuk diketahui bahwa desentralisasi pendidikan biasanya dilandasi
beberapa faktor seperti pembiayaan pendidikan, peningkatan efisiensi dan
efektivitas, redistribusi kekuasaan, peningkatan mutu pendidikan, dan
peningkatan inovasi (Winkler, 1999). Pengalihan wewenang dalam desentralisasi
pendidikan juga dapat diartikan berada dalam empat pendekatan, yakni
dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi (Rondinelli, 1984). Dalam
bingkai manajemen, desentralisasi pendidikan sekolah mampu memotong jarak pengelolaan pendidikan, baik
dari spektrum perencanaan maupun pembiayaan, sehingga diharapkan mampu
menghasilkan penyediaan layanan pendidikan yang efisien dan dapat dinikmati
oleh semua warga negara (Winkler & Yeo, 2007).
Kebijakan
desentralisasi pendidikan di Indonesia mengalami lompatan pendekatan setelah
adanya reformasi. Setelah lama menjalankan pola sentralisasi pembangunan dengan
menggunakan pendekatan dekonsentrasi, maka setelah diundangkannya peraturan
mengenai wewenang pemerintah daerah (UU No 22 dan UU No 25 Tahun 1999),
kebijakan desentralisasi pendidikan mulai dikembangkan dengan menggunakan
pendekatan devolusi (SMERU, 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar