Wacana
kepemimpinan nasional kian santer, terutama mendekati pemilihan umum presiden
dan wakil presiden pada pemilu 2014. Sejumlah nama telah beredar, tetapi
sebagain hanya dari kalangan partai politik yang punya peluang mengajukan
pencalonan presiden dan wakil presiden. Tantangan serius bangsa Indonesia
kedepannya adalah bagaimana membagun kedaulatan politik, ekonomi, social dan
budaya yang kuat mandiri dan sejahtera. Untuk itu dibutuhkan pemimpin yang
berkarakter negarawanan dan visioner dalam menahkodai bangsa ke depan. Sosok
itu siap mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok, berani ambil resiko,
serta mau bekerja nyata untuk memajukan dan menyejahterakan kehidupan bangsa,
meski tidak memenuhi semua syarat negarawan yang sempurna, sebenarnya Indonesia
masih memliki beberapa tokoh yang cukup mendekati karakter tersebut dan mereka
patut di perkenalkan gaya kepemimpinannya kepada publik untuk dijadikan panutan
bagi generasi kepemimpinan kedepan. Pada
saat ini penulis akan menyoroti gaya kepemimpinan Bapak Presiden Abdurrahman
Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur.
Pemerintahan
Gus Dur hanya berlangsung 21 bulan (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), pemerintahan
BJ Habibie juga demikian tidak sampai satu periode kepemimpinan, saat itu
pemilu yang sedianya diadakan lima tahunan atas tuntutan rakyat maka pemilu
akhirnya dipercepat.
Itulah tonggak
sejarah demokrasi di Indonesia yang ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan.
Pada hakekatnya pada masa pemerintahan Bung Karno sudah berhasil meletakkan
dasar-dasar demokrasi, namun pada saat itu adalah demokrasi terpimpin.
Sebagai kepala
pemerintahan, saat itu Gus Dur tidak menyadari kalau dirinya bukan lagi orang
pesantren. Sesuai dengan karakter orang pesantren, rupanya Gus Dur sulit
merubah gaya kepemimpinan seorang kiai menjadi gaya kepemimpinan presiden.
Seorang kiai
tidak mengenal protokoler, atau apa yang dinamakan dengan ajudan, paspampres
apalagi dewan pertimbangan presiden. Dalam budaya pesantren tidak mengenal itu
semua, dilingkungan pesantren hanya ada kiai, badal (pengganti kiai), muadzin (seseorang
yang suka melakukan adzan), pengurus pesantren atau untuk pesantren modern
saatini mungkin ditambah lagi juru masak, mungkin santri sekarang ini tidak
diizinkan untuk masak, hanya untuk belajar saja.
Sehingga suatu
ketika seorang Abdurrahman Wahid harus berhadapan dengan protokoler
kepresidenan, kebiasaan lama sulit untuk dihilangkan, akhirnya harus ada juru
bicara kepresidenan sebagai ganti dari departemen penerangan yang saat itu
digusur. Rupanya jubir kepresidenan masih bertahan sampai sekarang.
Gaya
kepemimpinan Gus Dur yang kontroversial tidak berhenti sampai disitu saja, para
menteri yang notabene sebagai pembantu presiden harus mengikuti kemauan beliau,
akan tetapi kalau tidak mau mengikuti beliau, maka menteri tersebut akan
dicopot "gitu aja kok repot".
Sudah
berkali-kali Presiden Abdurrahman Wahid saat itu mengganti para mentrinya yang
dianggap membangkang atas perintah beliau. Menurut saya ini hanya karena gaya
kepemimpinan saja, karena Gus Dur tidak berhasil merubah gaya kepemimpinan
model pesantren menjadi protokoler kepresidenan. Bagi saya kepemimpinan seperti
itu tidak efektif dan tidak bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan kita.
Ketidakpuasan
Gus Dur dengan kinerja kabinet yang dipimpinnya membuat para menteri semakin
gusar dengan model kepemimpinan beliau. Para menteri saat itu menghadapi sebuah
dilematis yang tak terpecahkan, akhirnya banyak yang membuat surat pernyataan
pengunduran diri. Namun ada juga yang loyal, misalnya para menteri yang berasal
dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) diantaranya Alwi Shihab, Mahfud MD
(sekarangKetua MK) dan lain-lain.
Bola api yang
digelindingkan Gus Dur terus merambah kemana-manatan paada yang bisa
menghentikan kemana bola api itu melaju. Akhirnya dari beberapa fraksi di
parlemen banyak yang menginginkan Gus Dur mundur dari jabatan sebagai presiden.
Anggota parlemen tidak puas atas kinerja Gus Dur yang "seenaknya
dewe", tanpa memperhatikan aspirasi dari anggota kabinet yang dipimpinnya.
Dari mayoritas
anggota fraksi diparlemen menginginkan Gus Dur untuk diimpeachment. Mandatnya
sebagai presiden diambil kembali oleh MPR. Namun Gus Dur berusaha untuk
mencegah keinginan tersebut dengan cara mengeluarkan Dekrit Presiden yang
isinya membubarkan DPR/MPR waktu itu. Namun apa yang terjadi, dekrit tersebut
tidak digubris oleh mayoritas anggota DPR/MPR, mereka akhirnya menolak
pertanggung jawaban presiden, dan seketika itu pula Gus Dur diberhentikan dari
Presiden RI ke 4.
Gus Dur memang
gagal dalam memimpin pemerintahan, Gus Dur memang tidak berhasil dalam
mengemban amanat rakyat, namun demikian Gus Dur telah berhasil menjadi guru
bangsa. Beliau telah berhasil menanamkan nilai-nilai demokrasi di bumi pertiwi
ini, beliau telah mengajarkan kepada kita untuk saling menghargai pluralisme
agama, menghargai budaya dan adat istiadat bangsa Indonesia yang multikultural.
Sudah
sepantasnyalah beliau kita dukung untuk menjadi Pahlawan Nasional, agar
semangat demokrasi, pluralisme, dan multi kultural tidak padam begitu saja
walaupun telah ditinggalkan oleh Gus Dur untuk selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar