Organisasi Kesenian dan Sarana Berkesenian di Sidoarjo
Banyak organisasi kesenian yang hanya “papan nama“, itupun “papannya“ sendiri juga tidak ada sama sekali. Barangkali problem ini bukan hanya menyangkut kesenian, bukan hanya terjadi di Sidoarjo. Meskipun banyak juga organisasi sosial yang eksis dengan kepengurusan yang jelas dan aktivitasnya yang terasa oleh masyarakat.
Di bawah ini adalah sebagian organisasi kesenian yang ada, yang pernah ada, atau setidaknya pernah terdengar namanya.
Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda)
Sejarah Dewan Kesenian Sidoarjo dimulai saat kepengurusan dijabat oleh ketua presidium yang terdiri dari Soekarno, Djoko Handojo dan Makmur. Meskipun, dalam prakteknya hanya nama Soekarno yang menonjol. Hampir-hampir tidak ada aktivitas atas nama organisasi, namun nama Soekarno sudah identik dengan Dewan Kesenian Sidoarjo, termasuk saat menjadi juri Guk dan Yuk serta berbagai acara lainnya.
Kepengurusan Dewan Kesenian Sidoarjo saat itu (1994 – 1997) terdiri dari: Ketua Presidium : Soekarno, Djoko Handojo, Makmur AM. Lantaran sekian lama vakum, kemudian lahirlah Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) dengan kepengurusan pertama (2001 – 2004) dengan Ketua Presidium: Henri Nurcahyo, Gatot Kintranggono, Mahmud Welly al Yunus.
Kepengurusan Dekesda kali ini unik, karena meski sudah mendapat SK dari Wakil Bupati, namun tidak pernah mendapatkan fasilitas apapun dari Pemkab. Bahkan acara pengukuhan pun tidak dilakukan. Sampai setahun kemudian, turun lagi SK dari Bupati, dan dilakukan pengukuhan. Kepengurusan pun berubah lagi, dengan masuknya nama baru, antara lain Hartono Aje, sebagai Wakil Ketua.
Dalam perjalananan, karena kesibukan kerja, Henri Nurcahyo mengundurkan diri diganti oleh Hartono Aje yang semula menjabat wakil ketua. Periode berikutnya, Dekesda dibawah kepemimpinan Noengky Prasedarnanto (Cak Sakek). Dilanjutkan, kepengurusan Dekesda periode 2008-2011 dibawah kepemimpinan Moch Rochani selaku Ketua Umum.
Pepadi (pedalangan)
Berdiri sejak tahun 1997, Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) cabang Sidoarjo dipimpin oleh Sapariadi, sempat berjaya ketika kepengurusan di tingkat propinsi masih „menyusu“ di (waktu itu bernama) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ( P dan K). Kegiatan banyak dilaksanakan karena sering identik dengan kegiatan Dinas. Begitu pula Pepadi Cabang Sidoarjo, karena ketuanya juga pejabat di Dinas setempat.
Lepas dari hal tersebut, pada masa kejayaannya itu Pepadi Cabang Sidoarjo berhasil menumbuhkembangkan apresiasi masyarakat terhadap wayang kulit. Waktu itu sempat terhimpun 64 dalang dan 8 sinden. Dalam lomba dalang se-Jatim, perwakilan Sidoarjo sering meraih prestasi sebagai dalang dan pergelaran terbaik. Diantaranya, memunculkan nama-nama Bambang Sugiyo, Surwedi, Surono (Wetanan), dan Yohan Susilo.
Pergelaran rutin sering diselenggarakan, seperti dalam acara ruwatan massal, atau saat peringatan hari-hari besar nasional, dengan tempat berpindah-pindah. Juga sarasehan pedalangan. Pada dasarnya, keberadaan Pepadi waktu itu memberikan kontribusi besar terhadap aktivitas kesenian di Sidoarjo.
Namun belakangan aktivitasnya jarang terdengar, konon karena anggaran tidak sesubur dulu. Ketua Pepadi juga merangkap ketua Dewan Kesenian Sidoarjo, ketua KONI, dan wakil ketua PC NU, namanya M. Rochani, mantan Sekretaris Kabupaten.
Palsi (ludruk)
Organisasi ini aktif ketika dipimpin Djoko Handojo. Ketika meninggal dunia, belum ada yang menggantikannya, dan tidak pernah terdengar aktivitasnya. Dulu sempat dibentuk Palsi I (grup senior) dan Palsi II (yunior). Hampir tiap minggu menggelar latihan di rumah Djoko yang melakukan antar jemput sendiri terhadap semua pemainnya dari rumah ke tempat latihan.
Orkes Melayu (Pomas)
Pernah dibentuk asosiasi, namanya Paguyuban Orkes Melayu Sidoarjo (Pomas), ketuanya Amin dan Ucok Sukoco.
Ishari (Ikatan Seni Hadrah Indonesia)
Banyak terdapat di kecamatan-kecamatan di Sidoarjo, namun kepengurusan tingkat kabupaten belum banyak terdengar.
Hipersid (seni rupa)
Organisasi seni rupa di Sidoarjo seringkali patah tumbuh hilang berganti. Salah satu yang pernah ada yaitu Hipersid (Himpunan Perupa Sidoarjo). Diantara berbagai organisasi itu, yang sering tampil sebagai motor antara lain Farid Firdaus, Herry Suyanto, Sulton Akbar, dll.
Sarana Berkesenian
Gedung Kesenian, masih menjadi mimpi seniman Sidoarjo. Sudah pernah direncanakan, dibentuk tim studi banding, didiskusikan, dijanjikan oleh pejabat yang berwenang, namun sampai tulisan ini dibuat, belum juga ada realisasinya. Padahal kalau menelisik sejarah tempo doeloe, Sidoarjo pernah punya Gedung Kalpiko, resminya gedung bioskop, berjaya pada tahun 1920-an, sudah lama sekali. Tentu saja masih jaman penjajahan Belanda. Entah dimana posisi gedung itu sekarang. Kemungkinan pernah digunakan oleh Toko Victory, di kawasan pertokoan Gajah Mada sekarang.
Pernah ada yang namanya Wisma Pancasila, jaman Bupati Soedarsono, posisinya di sebelah timur alun-alun. Gedung ini multi fungsi, termasuk digunakan untuk pementasan ludruk dan wayang orang segala. Kemudian, gedung ini diubah peruntukannya menjadi Gedung Bioskop Delta dan sempat berjaya hingga sekian lama sampai akhirnya mangkrak bertahun-tahun. Dan akhirnya sekarang menjelma menjadi Bank BTN.
Gedung Delta Sinar Mayang di pusat keramaian jalan Diponegoro di selatan pertokoan Ramayana. Ini juga gedung serbaguna. Namun entah bagaimana prosesnya tahu-tahu menjadi pertokoan seperti tetangga sekitarnya. Di Jalan Diponegoro juga pernah dikenal ada yang namanya Gedung Wanita. Sering dipakai acara mantenan, namun memang bisa juga dipergunakan untuk pertunjukan. Lagi-lagi sekarang sudah berubah menjadi pertokoan.
Jangankan gedung serbaguna, gedung bioskop saja sudah bertumbangan satu demi satu. Pernah ada Mahkota Theatre di Jl. A. Yani, Plaza Theatre di Jalan Thamrin, termasuk Delta Theatre, dan sebuah gedung bioskop di daerah Babarlayar. Semuanya sudah bubar, termasuk yang disebut terakhir itu sudah menjadi Ramayana. Ah pertokoan lagi. Dengar-dengar pertokoan Sun City malah akan membangun sarana gedung bioskop, masuk jaringan Twenty One, katanya begitu.
Dimanakah seniman Sidoarjo melakukan aktivitasnya? Tidak atau belum ada tempat khusus yang secara representatif tersedia. Berikut ini adalah beberapa venues yang biasa dijadikan tempat aktivitas kesenian di Sidoarjo:
1. Delta Krida Budaya. Satu-satunya panggung seni pertunjukan hanya ada di halaman kantor Disparbudpora, berupa panggung dengan halaman terbuka untuk penonton.
2. Pendopo Delta Krida Budaya. Di dekat panggung Krida Budaya, juga ada pendopo yang diberi nama Pendopo Delta Krida Budaya, sering digunakan untuk pameran lukisan, sarasehan, baca puisi, latihan teater dan tari, termasuk juga latihan olahraga (pencak silat, karate dll).
3. Panggung Apresiasi Seni Budaya. Ada juga panggung pertunjukan di halaman terbuka Gelanggang Olahraga (GOR) Delta, dinamakan Panggung Apresiasi Seni Budaya.
4. Parkir Timur GOR. Di halaman GOR juga sering digelar pertunjukan skala besar, seperti pertunjukan band dan juga pergelaran wayang kulit, yaitu Parkir Timur GOR, termasuk juga untuk acara olahraga massal dan kampanye pemilu.
5. Pendopo Kabupaten. Pendopo Kabupaten kadang juga digunakan untuk acara pertunjukan kesenian, terutama terkait dengan acara-acara formal pemerintah. Pernah juga digunakan untuk pameran batik dan kerajinan. Di bagian belakang pendopo, ada juga pendopo lagi, kadang diadakan acara sarasehan dan pertunjukan kesenian juga serta latihan karawitan.
6. Museum Mpu Tantular. Pameran lukisan kadang juga menggunakan aula museum milik propinsi Jawa Timur ini. Sering juga digunakan untuk acara lomba-lomba kesenian (lukis, mewarna, teater), terutama untuk kalangan pelajar.
7. Paseban. Berupa pendopo yang tidak begitu besar, terletak di seberang kompleks pendopo Kabupaten, berada di bagian tepi utara alun-alun Sidoarjo. Selama ini banyak digunakan untuk latihan tari, disamping tempat bercengkerama bagi masyarakat umum.
8. Klenteng. Kalau toh boleh disebut sebagai sarana berkesenian juga, memang hanya di sarana peribadatan kaum Tionghwa ini biasa digelar pertunjukan Wayang Potehi. Ada dua klenteng, satu di Krian, satunya lagi di kawasan Pasar Ikan, Jalan Hang Tuah Sidoarjo.
9. Galeri. Belum ada galeri khusus seni rupa di Sidoarjo. Pernah dicoba memberdayakan suatu tempat untuk galeri, namun tidak ada kelanjutannya lagi, hanya sekali pameran saja. Seperti di kawasan perumahan Taman Pinang dan Sidokare Indah. Pameran lukisan menggunakan berbagai tempat, seperti pendopo, aula GOR, aula Museum Mpu Tantular, atrium Sun City Mall, bahkan pernah di kompleks kantor polisi.
10. Aula, bisa dimana saja, yang jelas aula Gedung Bappekab dan aula Dinas Pendidikan paling sering dipinjam kalangan seniman untuk menggelar seni pertunjukan, diskusi kesenian, bahkan juga musyawarah seniman untuk membentuk kepengurusan Dewan Kesenian.
11. Sanggar Pecantingan. Berada di desa Sekardangan, dimaksudkan sebagai sarana latihan dan produksi kesenian. Pernah menyelenggarakan diskusi kesenian, festival seni, pementasan, workshop dan pameran seni rupa. Sanggar ini didirikan oleh Gepenk Juma‘adi, seniman Sidoarjo yang bermukim di Australia. Namun aktivitasnya mulai menurun, tidak seperti ketika Gepenk pada awalnya setiap cuti dari Australia, selalu aktif menyelenggarakan berbagai acara. Belakangan dikelola oleh Hari, adik Gepenk, masih sesekali menyelenggarakan acara.
12. Restoran Akar Jati. Resminya memang sebuah rumah makan yang milik dan dikelola oleh Hartono Aje, namun prakteknya sering dimanfaatkan sebagai sarana aktivitas seni. Pernah menyelenggarakan pameran lukisan, diskusi kesenian, pentas teater dan musik, dan ketika mendukung Festival Seni Sidoarjo 2010, mengalami musibah kebakaran. Beruntung Akar Jati segera bangkit lagi. Lokasinya berada di jalan by pass Gelora Delta Sidoarjo.
13. Kampung Seni Pondok Mutiara. Sebagaimana namanya kawasan ini memang dimaksudkan sebagai habitat kreativitas seniman, khususnya seni rupa. Sejumlah perupa yang tinggal di bekas gerai industri kecil ini pernah menyelenggarakan atau ditempati sebagai lokasi kegiatan pameran lukisan, pergelaran Green Art, festival seni pertunjukan, pameran lukisan, workshop kesenian, diskusi kesenian dan sebagainya.
14. Sanggar Jendela, persis di belakang gedung SDN Sawotratap II. Sebuah pendopo tanpa dinding dengan lantai licin (dan bersih) sengaja disiapkan untuk proses olah seni dan olah jiwa. Tak jauh dari situ ada gudang penyimpan berbagai alat musik, properti teater, contoh-contoh karya seni, dan sebagainya. Setiap saat anak-anak sekolah bebas menggunakan fasilitas itu. Tidak ada larangan. Ingin main jaranan, kostum dan propertinya tersedia. Anak-anak itu juga dikondisikan untuk membuat sendiri berbagai instrumen kesenian. Buat sendiri, main sendiri, serba swadaya, membuat anak-anak asuhan Heri Biola ini sangat bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar