Kami Peserta yang hadir pada
pertemuan dengan Tim Mediasi yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan RI
berdasarkan SK 736/Menhut-II/2011 telah melakukan pertemuan pada hari Kamis, 05
Januari 2012 di Sekretariat Jikalahari Jl Angsa 1 No 4A Pekanbaru, Riau.
Berdasarkan pemaparan Tim Mediasi
dan hasil diskusi yang dilakukan pada hari Kamis, 05 Januari 2012, maka
Organisasi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LSM, Ormas dan Organisasi
Mahasiswa yang hadir pada pertemuan ini menyatakan bahwa permasalahan di Pulau
Padang adalah salah satu dari beberapa persoalan yang ditimbulkan akibat dari
terbitnya SK. 327/Menhut-II/2009.
Peserta Pertemuan menyatakan Menteri
Kehutanan RI perlu segera membentuk Tim Verifikasi Independen dan multipihak
untuk meninjau kembali perizinan SK.327/Menhut-II/2009, dengan pertimbangan:
Proses lahirnya SK.
327/Menhut-II/2009 bermasalah mulai dari tahapan perizinan, putusan dan
implementasinya.
Proses AMDAL yang bertentangan
dengan PP 27/1999 pasal 16 ayat 4 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup, khususnya ketidaksesuaian peruntukan kawasan hutan yang
dicadangkan sebagai areal HTI dengan dokumen TGHK, RTRWN, RTRWP Riau (Perda No.
10 tahun 1994), dan RTRWK Bengkalis (Perda No. 19 tahun 2004). (penjelasan
lebih lanjut baca pada Lampiran 1. Penyimpangan Perijinan di Pulau Padang).
Dalam pengambilan data-data di
lapangan saat penyusunan AMDAL tim penyusun tidak mengambil sampel biofisik
lapangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan
AMDAL, antara lain
Tim penyusun AMDAL tidak melakukan
pengukuran sampel kedalaman lahan gambut secara representatif dan akurat.
Menurut data ANDAL kedalaman gambut
di areal pencadangan HTI secara umum < 2,5 m, dan sebagian kecil saja yang
ketebalan gambutnya antara 2,5 – 5 meter (sumber: Dokumen ANDAL Areal tambahan
PT. RAPP, 2006 halaman V-32), .
Menurut hasil penelitian Fakultas
Kehutanan UGM kedalaman gambut (sebanyak 70 titik bor) di Pulau Padang
> 3 meter, bahkan dibanyak tempat kedalaman gambutnya > 6,5 meter).
(Penjelasan lebih lanjut silahkan dibaca pada Lampiran 2. Pengelolaan Landskape
Pulau Padang)
Menurut Disertasi Michael Allen
Brady Universitas British Columbia (sekarang menjabat Executive Director
GOFC-GOLD (Global Observation of Forest and Land Cover Dynamics
(GOFC-GOLD) GOFC-GOLD adalah Panel of the Global Terrestrial Observing System
(GTOS), yang disponsori oleh FAO, UNESCO, WMO, ICSU and UNEP yang
mengambil Pulau Padang sebagai site kajian utama, menunjukkan bahwa sebagian
besar kawasan Pulau Padang memiliki kedalaman gambut 9 – 12 meter. (penjelasan
lebih lanjut tentang Disertasi tersebut silahkan dilihat pada Lampiran 3.)
Menurut Keppres 32/1999, dan PP No.
47/1997, kawasan gambut dengan kedalaman > 3 meter yang berada di hulu
sungai dan rawa termasuk kawasan lindung. Menurut Keppres 32/1999 pasal
37 ayat 1 tentang Pengendalian Kawasan Lindung, menyebutkan bahwa di dalam
kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak
mengganggu fungsi lindung. Pengusahaan HTI skala besar yang menggunakan sistem
land clearing dan silvikultur THPB akan menimbulkan dampak negatif terhadap
fungsi lindung di kawasan Pulau Padang.
Tim penyusun AMDAL tidak melakukan
survey sosial pada masyarakat terdampak akibat operasional HTI (sesuai PP
27/1999 pasal 34), khususnya di Desa Lukit dimana sebagian besar areal HTI
termasuk wilayah administratif desa tersebut. Tetapi lokasi survey sosial Tim
penyusun AMDAL justru ke Desa Tanjungkulim dan Desa Kurau yang lokasinya
berada diluar areal HTI. (sumber: Dokumen ANDAL Areal Tambahan PT. RAPP Halaman
V-68 s.d. V-82).
Terdapat sikap yang sangat tidak
kooperatif dari pihak PT. RAPP terhadap akses dokumen ANDAL bagi para multi
pihak di Pekanbaru, padahal dokumen ANDAL merupakan dokumen publik.
Hasil interpretasi citra SRTM 30
dengan koreksi ground-check ketinggian tajuk tegakan pohon pada 130 titik di
lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan kebun karet
berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI
dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan tenggelamnya
Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan
global. (penjelasan lebih lanjut silahkan dibaca pada Lampiran 2.)
Indikasi ini sudah terbukti di
lapangan, dimana masyarakat Pulau Padang dalam beberapa tahun terakhir ini
sudah mengalami bencana banjir rob/pasang air laut. Padahal sampai dengan saat
ini belum ada pembelajaran tentang dampak kanalisasi HTI skala besar terhadap
keseimbangan ekosistem pulau-pulau kecil.
Telah terjadi pembentukan opini oleh
PT. RAPP berkaitan dengan tingkat deforestasi di kawasan Pulau Padang yang
dilakukan saat forum Sosialisasi kepada komponen masyarakat Kabupaten Kepulauan
Meranti tanggal 30 Oktober 2010:
Menurut analisis peta Citra Landsat
tahun 2002 yang dilakukan PT. RAPP, kawasan kebun karet dan kebun sagu (yang
dikelola masyarakat Pulau Padang selama puluhan tahun) diidentifikasi sebagai
areal deforestasi, sehingga tingkat deforestasi di Pulau Padang termasuk
kategori tinggi. Kenyataan ini akan dapat mempengaruhi para pihak yang
berkepentingan dalam mengambil keputusan yang berpotensi menguntungkan PT. RAPP
terutama dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan Pulau Padang di masa
depan.
Menurut hasil analisis peta citra
Landsat pada tahun 2002 dan Citra Landsat tahun 2010 yang dilakukan oleh
Fakultas Kehutanan UGM, ternyata laju deforestasi di Pulau Padang selama
rentang waktu 2002-2010 sangat minimum.
Kontroversi kriteria areal yang
dapat dijadikan IUPHHKHT/HTI (1). UU 41/1999 tentang Kehutanan; (2). PP 6/1999
tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi; (3).
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan; (4).
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; (5).
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 10.1/Kpts-II/2000 Tentang Pedoman Pemberian
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman; (6). Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: 21/Kpts-II/2001 Tentang Kriteria Dan Standar Ijin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi; dan (7). Keputusan Menteri
Kehutanan No: SK. 101/Menhut-II/2004, jo P.05/Menhut-II/2004 tentang Percepatan
Pembangunan Hutan Tanaman untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas).
Pulau Padang dengan luas ± 111.500
ha (± 1.115 km2) termasuk dalam katagori pulau kecil. Berdasarkan UU No 27/2007
pasal 1 ayat 3 yang dimaksud Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil
atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan
ekosistemnya. Di dalam UU No 27/2007 pasal 23 ayat 2 dinyatakan Pemanfaatan
pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu
atau lebih kepentingan berikut: a). konservasi; b). pendidikan dan pelatihan;
c). penelitian dan pengembangan; d). budidaya laut; e). pariwisata; f). usaha
perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; g). pertanian
organik; dan/atau h). peternakan. Pada pasal 23 ayat 3, kegiatan lain
diperbolehkan namun wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan,
memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi
yang ramah lingkungan. Mendasar pada pasal 23 UU No 27/2007 tersebut, maka
pengelolaan kawasan Pulau Padang tidak diperuntukan untuk kegiatan pengusahaan
hutan.
SK 327/Menhut-II/2009 menggunakan
Keputusan Gubernur Riau no. Kpts 667/XI/2004 yang telah kadaluarsa
sebagai konsideran.
Masyarakat desa-desa di Pulau Padang
sudah ada sejak 1918. Terdiri dari 14 desa yaitu Lukit, Tanjung Padang, Kudap,
Dedap, Mengkirau, Bagan Melibur, Mekar Sari, Meranti Bunting, Mengkopot, Selat
Akar, Bandul, dan satu kelurahan; Belitung. Jumlah penduduk Pulau Padang
sekitar 35.224 penduduk, berasal dari Etnis Melayu, Jawa, Bugis, Minang,
Lombok, Batak dan Akit sebagai suku asli. Heterogenitas itu berujud hidup rukun
dan damai.
Ragam Mata pencaharian utama dari
penduduk Pulau Padang adalah 70% petani, dan sisanya adalah
nelayan, PNS, buruh lepas, dan karyawan swasta. Rencana pembangunan HTI
telah mengubah dinamika yang sebelumnya kondusif menjadi berpotensi konflik
terbuka.
Di Pulau Padang juga terdapat banyak
sekali contoh budidaya tananaman keras (karet, sagu) yang telah berlangsung
puluhan tahun pada kawasan gambut dalam dengan tata kelola air menggunakan
kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang.
Dengan kondisi diatas maka NGO dan
Ormas di Riau menyatakan bahwa langkah yang harus diambil pemerintah c.q.
Kementerian Kehutanan adalah:
- Kementerian Kehutanan bukan sebatas membentuk tim mediasi namun membentuk Tim Verifikasi Independen dan multipihak, untuk meninjau kembali perizinan SK.327/Menhut-II/2009.
- Mensinergikan berbagai pihak dan inisiatif guna menjadikan pengelolaan ekosistem lahan gambut dalam oleh masyarakat di Pulau Padang yang terbukti mampu menopang kehidupan > 32.000 orang untuk dipromosikan sebagai:
- Model pembelajaran pengelolaan ekosistem gambut dalam (deep peatland farming system) berbasis masyarakat pada kawasan penyangga (buffer zone).
- Pembanding (benchmark) terhadap kelestarian ratusan ribu Ha lahan gambut yang di drainase secara besar-besaran oleh HTI di Sumatera.
- Model percontohan perbaikan tata kelola (good governance) di bidang kehutanan, tata kelola lahan gambut, dan tata kelola pulau kecil yang berbasis masyarakat.
- Model percontohan pengelolaan hutan alam pada ekosistem lahan gambut dalam untuk tujuan produksi, konservasi, dan ecotourism.
- Ikon best practices dalam pengelolaan ekosistem gambut dalam berbasis masyarakat yang berpeluang menjadi kawasan warisan nasional (national heritage), ditengah pesimisme terhadap isu kegagalan pengelolaan lahan gambut di Indonesia di tingkat Internasional.
Demikian pernyataan ini dibuat NGO
dan Ormas Riau sebagai tanggapan atas pembentukan Tim mediasi dan solusi untuk
penyelesaian permasalahan yang ditimbulkan dari terbitnya
SK.327/Menhut-II/2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar