DALAM
kehidupan umat manusia komunikasi dan konflik telah menjadi bagian dari
keniscayaan sejarah yang dilaluinya. Dengan berkomunikasi segala keinginan dan
harapan manusia tercapai, namun sekaligus kesanggupan menerima perbedaan dan
bahkan konflik di dalamnya.
Konflik merupakan sesuatu yang tak perlu dihindari, sebab dengan konflik menjadikan manusia lebih dinamis dan proses komunikasi akan sarat dengan pesan yang berbobot.
Sebagai contoh proses pilgub Jateng, merupakan proses yang penuh konflik, tidak saja kepentingan kelompok namun bila tidak dikelola dengan baik akan merembet jadi konflik horisontal antarpendukung
Masyarakat sebagai satu komunitas yang beragam penuh perbedaan pandangan bahkan kepentingan. Tuhan yang menciptakan umat manusia dalam keragamannya.
Dalam realitas kehidupan keragaman telah meluas dalam wujud perbedaan status, kondisi ekonomi, relasi sosial dan sampai cita-cita perorangan maupun kelompok. Tanpa dilandasi sikap arif dalam memandang perbedaan akan menuai konsekuensi panjang berupa konflik dan bahkan kekerasan di tengah-tengah kita.
Sebagaimana konsepsi konflik dari SN Kartikasari (dalam Mengelola Konflik, 2001, hal. 4) adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Pihak yang terlibat di dalamnya bisa perorangan ataupun kelompok, yang pasti memiliki kepentingan dan sasaran yang hendak ditujunya.
Dalam proses pilgub Jateng misalnya,terdapat empat pasangan calon yang tentu saling berhadapan karena memiliki kepentingan dan sasaran yang sama.
Sasaran tersebut jumlahnya sangat terbatas, bahkan mustahil untuk diperoleh bersama. Belum lagi persoalan yang ada di akar rumput yang begitu kompleks dan berpotensi mengakibatkan konflik.
Dalam hal ini maka terdapat beberapa teori yang menunjukkan penyebab konflik di tengah masyarakat (SN Kartikasari, 2001, hal. 8) antara lain:
Pertama, teori hubungan masyarakat. Memiliki pandangan bahwa konflik yang sering muncul di tengah masyarakat disebabkan polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda.
Perbedaan bisa dilatarbelakangi SARA bahkan pilihan ideologi politiknya. Barangkali apa yang terjadi di Ambon sejak 1999 adalah bentuk konflik yang berbasis persoalan hubungan masyarakat.
Kedua, teori identitas yang melihat bahwa konflik yang mengeras di masyarakat tidak lain disebabkan identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan.
Teori ini bisa dijadikan alat untuk melihat konflik berkepanjangan di Kedungombo yang berangkat dari rendahnya penghargaan terhadap tanah mereka yang harus direlakan demi pembangunan waduk.
Masyarakat yang telah lama memegang ajaran sak dumuk bathuk sak nyari bumi akan terus bertahan di genangan air demi mempertahankan tanah sebagai simbol identitas kepemilikan yang merupakan warisan leluhur yang patut dilestarikannya. Demikian pula dengan protes warga sekitar Candi Borobudur dalam persoalan Jagad Jawa beberapa waktu lalu.
Ketiga, teori kesalahpahaman antarbudaya. Teori ini melihat konflik disebabkan ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Realitas keragaman budaya bangsa ini tentu membawa konsekuensi munculnya persoalan gesekan antarbudaya. Jawa Tengah secara kultural bisa dilihat antara budaya pesisir (masyarakat pantura) yang terbuka, keras, apa adanya, kesederajatan, jujur dan kesesuaian antara kata dan perbuatan.
Sedangkan wilayah tengah yang dikenal dengan budaya pedalaman bercirikan kurang terbuka, paternalistik-feodalistik, halus, berstrata, sering sulit dipegang kata-katanya adalah kekayaan tersendiri yang amat mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakatnya.
Berbagai gejolak politik selama lima tahun terakhir menunjukkan betapa karakteristik budaya tersebut masih berpengaruh. Meskipun belakangan terjadi perubahan yang amat signifikan dari kultur politik masyarakat kota Solo sebagai “barometer politik” zaman Orde Baru.
Keempat, teori transformasi sosial yang memfokuskan pada penyebab terjadi konflik adalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Kerusuhan yang sempat meledak di kota Solo pada tahun 1980 dan 1998 adalah satu wujud dari konflik karena persoalan transformasi sosial yang dirasa penuh ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara warga pribumi (Jawa) sebagai pemilik sah kota Solo dengan masyarakat Cina yang dilihat sebagai pendatang yang sekadar menumpang hidup saja.
Berbagai pandangan tersebut senantiasa bisa dijadikan pelajaran bagi siapa pun yang memimpin Jawa Tengah ke depan. Tanpa memahami realitas akar rumput nampaknya mustahil bagi gubernur untuk mewujudkan Jawa Tengah ke depan yang damai, tenteram apalagi sejahtera lahir dan batin sebagaimana visi dan misi para cagub.
Mengubah Pandangan
Adapun kekerasan yang mudah terjadi belakangan menunjukkan sedang terjadi perubahan dahsyat pada wajah masyarakat kita. Tindak kekerasan sejak persoalan kriminalitas sampai kekerasan di jagat politik Jawa Tengah lima tahun terakhir nampaknya akan mengubah pandangan orang tentang Jawa Tengah, apabila tidak segera kita antisipasi bersama.
Menurut Franz Magnis Suseno (2003, hal. 121) berkembangnya budaya kekerasan disebabkan beberapa faktor, antara lain: pertama, warisan sistem kekerasan yang dilembagakan Orde Baru. Kekuasaan yang sesungguhnya berada di tangan militer, dimana perbedaan pendapat dan protes selalu diselesaikan secara brutal. Ingatan kita belum terhapus dengan kekerasan yang mewarnai kasus politik di negeri ini seperti di Tanjung Priok, Haur Koneng sampai Kerusuhan 27 Juli 1996 lalu. Warisan ini nampak masih melekat hingga hari ini, dalam format baru yang dilakukan kelompok para militer. Termasuk di sekitar Gedung Berlian selama proses pilgub berlangsung.
Kedua, masyarakat lebih banyak dalam genggaman budaya kekerasan. Sedikit perbedaan dan persoalan yang meruncing senantiasa berujung pada tindak kekerasan baik fisik maupun psikologis. Intimidasi dan ancaman fisik maupun kata-kata seperti terpampang di pagar Gedung Berlian membenarkan tesis Magnis Suseno tersebut. Akankah keadaan demikian berlanjut di wilayah Jawa Tengah ini?
Ketiga, akumulasi kebencian di tengah masyarakat. Karakteristik masyarakat kita yang andhap asor, pemaaf dan santun nampaknya semakin pudar seiring dengan transformasi sosial yang sedang berlangsung. Kebencian karena perbedaan pilihan politik maupun cara menjalankan ritual keagamaan kadang masih dominan di tengah masyarakat.
Konflik politik di tingkat akar rumput seperti Pekalongan dan Jepara bisa jadi membenarkan indikasi kebencian yang berkepanjangan. Karenanya, dalam proses pilgub Jateng kali ini jangan meninggalkan dendam dan kebencian antarpelaku maupun pendukung. Anggap saja proses politik yang sedang berlangsung adalah bagian dari roda kehidupan yang harus diterima sebagai kenyataan hidup warga Jawa Tengah. Banyak agenda menanti di depan kita, dari persoalan petani yang kian terpuruk sampai nasib buruh pabrik yang belum beranjak hingga kondisi nelayan kita yang mengenaskan adalah persoalan riil yang sedang wong cilik yang juga warga Jateng.
Peran Komunikasi
Berbagai bentuk konflik di tengah masyarakat adalah hal yang tak perlu ditakuti atau dihindari. Sebagai keniscayaan sejarah maka mau tak mau harus dicari penyelesaian dan jalan terbaik untuk segera mengakhiri konflik. Melihat kompleksitas persoalan penyebab konflik tidak ada jalan lain kecuali mengoptimalkan fungsi dan peran komunikasi di dalamnya. Ibarat institusi maka berbagai elemen yang terlibat konflik merupakan keragaman sumber daya yang perlu dikelola untuk mencapai tujuan lembaga. Sudah saatnya dikenalkan manajemen konflik yakni suatu upaya untuk mengelola dan menggerakkan berbagai sumber dan elemen yang terlibat dalam konflik untuk mencari jalan penyelesaian dalam rangka mencapai tujuan.
Manajemen konflik semacam keterampilan memainkan peran dan tindakan guna mencari solusi terbaik bagi yang terlibat konflik. Untuk itu dibutuhkan dukungan keahlian berkomunikasi, agar bisa mendudukkan dalam satu meja pertemuan yang sejajar untuk bisa memperoleh titik temu dari beragam keinginan. Dibutuhkan kemampuan persuasif untuk mewujudkan mediasi yang bisa diterima berbagai kalangan.
Little Jhon (1999, hal. 478) pakar komunikasi menawarkan konsepsi tentang komunikasi langsung yang memiliki tiga keuntungan, antara lain: pertama, komunikasi sifatnya simbolis dan tidak mendatangkan konsekuensi yang sesungguhnya dari gerakan nyata.
Komunikasi merupakan cara untuk mencoba sebuah pemikiran ketimbang melakukan gerakan yang mungkin belakangan akan disesali. Dengan saling berkomunikasi segala kepentingan yang menemui jalan buntu akan mampu dimengerti dan dipahami pihak lain. Hal ini akan lebih baik daripada melakukan gerakan untuk memaksakan kepentingannya yang sering dibayar mahal secara sosial politik.
Pertemuan untuk mengeksplorasi suara masyarakat Semarang menanggapi proses pilgub pada 5 Juli 2003 di RM Nusantara oleh JAMAS adalah format komunikasi sosial yang ideal untuk mewujudkan kebersamaan yang disimbolkan dalam kepemilikan bersama kota Semarang yang kebetulan jadi ibu kota Provinsi Jateng. Terdapat nota kesepakatan untuk menjaga kedamaian kota Semarang selama proses pilgub berlangsung. Kedua, komunikasi mengubah kemungkinan gerakan dan bisa mengurangi tingkat persaingan dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Dengan terjadi kontak antarpimpinan parpol dan pelaku politik lain di Gedung Berlian mampu mengerem laju persaingan keras yang mengarah pada kekerasan dan konflik antarpendukung.
Ketiga, komunikasi bisa menghasilkan perubahan orientasi dari pihak-pihak yang terlibat terhadap masalah. Dengan komunikasi bisa langsung membujuk atau mengubah apa yang ingin dilakukannya. Pertemuan di Masjid Baiturrahman yang mengeluarkan imbauan moral pada pihak yang terlibat proses pilgub dimana hadir di dalamnya wakil rakyat adalah satu format komunikasi yang diharapkan bisa mengubah orientasi dan keinginan yang akan dilakukan berkaitan dengan dinamika proses pilgub.
Melalui berbagai media komunikasi tentunya para wakil rakyat dan tokoh partai sadar dan berpikir panjang untuk mempergunakan kekuatan ekstra parlementer guna memaksakan kepentingannya. Sebab akan berakibat panjang serta memerlukan biaya sosial yang tidak kecil. Kemah perdamaian yang digelar JAMAS untuk mempertemukan para tokoh sosial lintas sektoral menjelang pilgub 24 Juli adalah contoh komunikasi sosial yang menyuarakan imbauan moral untuk mengedepankan prosesi politik yang elegan serta memberikan pendidikan politik yang sejuk dan beradab agar masyarakat Jateng lebih merasakan hasil dari kepemimpinan baru yang terpilih melalui proses yang damai dan demokratis. (18)
- Muchamad Yuliyanto SSos, peserta workshop dan TOT Manajemen Konflik yang diselenggarakan CERIC UI-Ohio University, di Jakarta 26-30 Juni 2003 dan anggota dewan ahli Jaringan Masyarakat Semarang (JAMAS).
Konflik merupakan sesuatu yang tak perlu dihindari, sebab dengan konflik menjadikan manusia lebih dinamis dan proses komunikasi akan sarat dengan pesan yang berbobot.
Sebagai contoh proses pilgub Jateng, merupakan proses yang penuh konflik, tidak saja kepentingan kelompok namun bila tidak dikelola dengan baik akan merembet jadi konflik horisontal antarpendukung
Masyarakat sebagai satu komunitas yang beragam penuh perbedaan pandangan bahkan kepentingan. Tuhan yang menciptakan umat manusia dalam keragamannya.
Dalam realitas kehidupan keragaman telah meluas dalam wujud perbedaan status, kondisi ekonomi, relasi sosial dan sampai cita-cita perorangan maupun kelompok. Tanpa dilandasi sikap arif dalam memandang perbedaan akan menuai konsekuensi panjang berupa konflik dan bahkan kekerasan di tengah-tengah kita.
Sebagaimana konsepsi konflik dari SN Kartikasari (dalam Mengelola Konflik, 2001, hal. 4) adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Pihak yang terlibat di dalamnya bisa perorangan ataupun kelompok, yang pasti memiliki kepentingan dan sasaran yang hendak ditujunya.
Dalam proses pilgub Jateng misalnya,terdapat empat pasangan calon yang tentu saling berhadapan karena memiliki kepentingan dan sasaran yang sama.
Sasaran tersebut jumlahnya sangat terbatas, bahkan mustahil untuk diperoleh bersama. Belum lagi persoalan yang ada di akar rumput yang begitu kompleks dan berpotensi mengakibatkan konflik.
Dalam hal ini maka terdapat beberapa teori yang menunjukkan penyebab konflik di tengah masyarakat (SN Kartikasari, 2001, hal. 8) antara lain:
Pertama, teori hubungan masyarakat. Memiliki pandangan bahwa konflik yang sering muncul di tengah masyarakat disebabkan polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda.
Perbedaan bisa dilatarbelakangi SARA bahkan pilihan ideologi politiknya. Barangkali apa yang terjadi di Ambon sejak 1999 adalah bentuk konflik yang berbasis persoalan hubungan masyarakat.
Kedua, teori identitas yang melihat bahwa konflik yang mengeras di masyarakat tidak lain disebabkan identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan.
Teori ini bisa dijadikan alat untuk melihat konflik berkepanjangan di Kedungombo yang berangkat dari rendahnya penghargaan terhadap tanah mereka yang harus direlakan demi pembangunan waduk.
Masyarakat yang telah lama memegang ajaran sak dumuk bathuk sak nyari bumi akan terus bertahan di genangan air demi mempertahankan tanah sebagai simbol identitas kepemilikan yang merupakan warisan leluhur yang patut dilestarikannya. Demikian pula dengan protes warga sekitar Candi Borobudur dalam persoalan Jagad Jawa beberapa waktu lalu.
Ketiga, teori kesalahpahaman antarbudaya. Teori ini melihat konflik disebabkan ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Realitas keragaman budaya bangsa ini tentu membawa konsekuensi munculnya persoalan gesekan antarbudaya. Jawa Tengah secara kultural bisa dilihat antara budaya pesisir (masyarakat pantura) yang terbuka, keras, apa adanya, kesederajatan, jujur dan kesesuaian antara kata dan perbuatan.
Sedangkan wilayah tengah yang dikenal dengan budaya pedalaman bercirikan kurang terbuka, paternalistik-feodalistik, halus, berstrata, sering sulit dipegang kata-katanya adalah kekayaan tersendiri yang amat mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakatnya.
Berbagai gejolak politik selama lima tahun terakhir menunjukkan betapa karakteristik budaya tersebut masih berpengaruh. Meskipun belakangan terjadi perubahan yang amat signifikan dari kultur politik masyarakat kota Solo sebagai “barometer politik” zaman Orde Baru.
Keempat, teori transformasi sosial yang memfokuskan pada penyebab terjadi konflik adalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Kerusuhan yang sempat meledak di kota Solo pada tahun 1980 dan 1998 adalah satu wujud dari konflik karena persoalan transformasi sosial yang dirasa penuh ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara warga pribumi (Jawa) sebagai pemilik sah kota Solo dengan masyarakat Cina yang dilihat sebagai pendatang yang sekadar menumpang hidup saja.
Berbagai pandangan tersebut senantiasa bisa dijadikan pelajaran bagi siapa pun yang memimpin Jawa Tengah ke depan. Tanpa memahami realitas akar rumput nampaknya mustahil bagi gubernur untuk mewujudkan Jawa Tengah ke depan yang damai, tenteram apalagi sejahtera lahir dan batin sebagaimana visi dan misi para cagub.
Mengubah Pandangan
Adapun kekerasan yang mudah terjadi belakangan menunjukkan sedang terjadi perubahan dahsyat pada wajah masyarakat kita. Tindak kekerasan sejak persoalan kriminalitas sampai kekerasan di jagat politik Jawa Tengah lima tahun terakhir nampaknya akan mengubah pandangan orang tentang Jawa Tengah, apabila tidak segera kita antisipasi bersama.
Menurut Franz Magnis Suseno (2003, hal. 121) berkembangnya budaya kekerasan disebabkan beberapa faktor, antara lain: pertama, warisan sistem kekerasan yang dilembagakan Orde Baru. Kekuasaan yang sesungguhnya berada di tangan militer, dimana perbedaan pendapat dan protes selalu diselesaikan secara brutal. Ingatan kita belum terhapus dengan kekerasan yang mewarnai kasus politik di negeri ini seperti di Tanjung Priok, Haur Koneng sampai Kerusuhan 27 Juli 1996 lalu. Warisan ini nampak masih melekat hingga hari ini, dalam format baru yang dilakukan kelompok para militer. Termasuk di sekitar Gedung Berlian selama proses pilgub berlangsung.
Kedua, masyarakat lebih banyak dalam genggaman budaya kekerasan. Sedikit perbedaan dan persoalan yang meruncing senantiasa berujung pada tindak kekerasan baik fisik maupun psikologis. Intimidasi dan ancaman fisik maupun kata-kata seperti terpampang di pagar Gedung Berlian membenarkan tesis Magnis Suseno tersebut. Akankah keadaan demikian berlanjut di wilayah Jawa Tengah ini?
Ketiga, akumulasi kebencian di tengah masyarakat. Karakteristik masyarakat kita yang andhap asor, pemaaf dan santun nampaknya semakin pudar seiring dengan transformasi sosial yang sedang berlangsung. Kebencian karena perbedaan pilihan politik maupun cara menjalankan ritual keagamaan kadang masih dominan di tengah masyarakat.
Konflik politik di tingkat akar rumput seperti Pekalongan dan Jepara bisa jadi membenarkan indikasi kebencian yang berkepanjangan. Karenanya, dalam proses pilgub Jateng kali ini jangan meninggalkan dendam dan kebencian antarpelaku maupun pendukung. Anggap saja proses politik yang sedang berlangsung adalah bagian dari roda kehidupan yang harus diterima sebagai kenyataan hidup warga Jawa Tengah. Banyak agenda menanti di depan kita, dari persoalan petani yang kian terpuruk sampai nasib buruh pabrik yang belum beranjak hingga kondisi nelayan kita yang mengenaskan adalah persoalan riil yang sedang wong cilik yang juga warga Jateng.
Peran Komunikasi
Berbagai bentuk konflik di tengah masyarakat adalah hal yang tak perlu ditakuti atau dihindari. Sebagai keniscayaan sejarah maka mau tak mau harus dicari penyelesaian dan jalan terbaik untuk segera mengakhiri konflik. Melihat kompleksitas persoalan penyebab konflik tidak ada jalan lain kecuali mengoptimalkan fungsi dan peran komunikasi di dalamnya. Ibarat institusi maka berbagai elemen yang terlibat konflik merupakan keragaman sumber daya yang perlu dikelola untuk mencapai tujuan lembaga. Sudah saatnya dikenalkan manajemen konflik yakni suatu upaya untuk mengelola dan menggerakkan berbagai sumber dan elemen yang terlibat dalam konflik untuk mencari jalan penyelesaian dalam rangka mencapai tujuan.
Manajemen konflik semacam keterampilan memainkan peran dan tindakan guna mencari solusi terbaik bagi yang terlibat konflik. Untuk itu dibutuhkan dukungan keahlian berkomunikasi, agar bisa mendudukkan dalam satu meja pertemuan yang sejajar untuk bisa memperoleh titik temu dari beragam keinginan. Dibutuhkan kemampuan persuasif untuk mewujudkan mediasi yang bisa diterima berbagai kalangan.
Little Jhon (1999, hal. 478) pakar komunikasi menawarkan konsepsi tentang komunikasi langsung yang memiliki tiga keuntungan, antara lain: pertama, komunikasi sifatnya simbolis dan tidak mendatangkan konsekuensi yang sesungguhnya dari gerakan nyata.
Komunikasi merupakan cara untuk mencoba sebuah pemikiran ketimbang melakukan gerakan yang mungkin belakangan akan disesali. Dengan saling berkomunikasi segala kepentingan yang menemui jalan buntu akan mampu dimengerti dan dipahami pihak lain. Hal ini akan lebih baik daripada melakukan gerakan untuk memaksakan kepentingannya yang sering dibayar mahal secara sosial politik.
Pertemuan untuk mengeksplorasi suara masyarakat Semarang menanggapi proses pilgub pada 5 Juli 2003 di RM Nusantara oleh JAMAS adalah format komunikasi sosial yang ideal untuk mewujudkan kebersamaan yang disimbolkan dalam kepemilikan bersama kota Semarang yang kebetulan jadi ibu kota Provinsi Jateng. Terdapat nota kesepakatan untuk menjaga kedamaian kota Semarang selama proses pilgub berlangsung. Kedua, komunikasi mengubah kemungkinan gerakan dan bisa mengurangi tingkat persaingan dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Dengan terjadi kontak antarpimpinan parpol dan pelaku politik lain di Gedung Berlian mampu mengerem laju persaingan keras yang mengarah pada kekerasan dan konflik antarpendukung.
Ketiga, komunikasi bisa menghasilkan perubahan orientasi dari pihak-pihak yang terlibat terhadap masalah. Dengan komunikasi bisa langsung membujuk atau mengubah apa yang ingin dilakukannya. Pertemuan di Masjid Baiturrahman yang mengeluarkan imbauan moral pada pihak yang terlibat proses pilgub dimana hadir di dalamnya wakil rakyat adalah satu format komunikasi yang diharapkan bisa mengubah orientasi dan keinginan yang akan dilakukan berkaitan dengan dinamika proses pilgub.
Melalui berbagai media komunikasi tentunya para wakil rakyat dan tokoh partai sadar dan berpikir panjang untuk mempergunakan kekuatan ekstra parlementer guna memaksakan kepentingannya. Sebab akan berakibat panjang serta memerlukan biaya sosial yang tidak kecil. Kemah perdamaian yang digelar JAMAS untuk mempertemukan para tokoh sosial lintas sektoral menjelang pilgub 24 Juli adalah contoh komunikasi sosial yang menyuarakan imbauan moral untuk mengedepankan prosesi politik yang elegan serta memberikan pendidikan politik yang sejuk dan beradab agar masyarakat Jateng lebih merasakan hasil dari kepemimpinan baru yang terpilih melalui proses yang damai dan demokratis. (18)
- Muchamad Yuliyanto SSos, peserta workshop dan TOT Manajemen Konflik yang diselenggarakan CERIC UI-Ohio University, di Jakarta 26-30 Juni 2003 dan anggota dewan ahli Jaringan Masyarakat Semarang (JAMAS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar