Kepemimpinan transformasional menunjuk
pada proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi
kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Teori
transformasional mempelajari juga bagaimana para pemimpin mengubah budaya dan
struktur organisasi agar lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen
untuk mencapai sasaran organisasional.
Secara konseptual, kepemimpinan
transformasional di definisikan (Bass, 1985), sebagai kemampuan pemimpin
mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, dan pola kerja, dan nilai-nilai
kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan
kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Berarti, sebuah proses
transformasional terjadi dalam hubungan kepemimpinan manakala pemimpin
membangun kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja, memperluas dan
meningkatkan kebutuhan melampaui minat pribadi serta mendorong perubahan
tersebut ke arah kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi (Bass,
1985).
Konsep awal tentang kepemimpinan
transformasional telah diformulasi oleh Burns (1978) dari penelitian deskriptif
mengenai pemimpin-pemimpin politik. Burns, menjelaskan kepemimpinan
transformasional sebagai proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling
menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”, seperti
kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, dan bukan di dasarkan atas emosi,
seperti misalnya keserakahan, kecemburuan sosial, atau kebencian (Burns, 1997).
Dengan cara demikian, antar pimpinan dan
bawahan terjadi kesamaan persepsi sehingga mereka dapat mengoptimalkan usaha ke
arah tujuan yang ingin dicapai organisasi. Melalui cara ini, diharapkan akan
tumbuh kepercayaan, kebanggan, komitmen, rasa hormat, dan loyal kepada atasan
sehingga mereka mampu mengoptimalkan usaha dan kinerja mereka lebih baik dari
biasanya. Ringkasnya, pemimpin transformasional berupaya melakukan transforming
of visionary menjadi visi bersama sehingga mereka (bawahan plus pemimpin)
bekerja untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan. Dengan kata lain, proses
transformasional dapat terlihat melalui sejumlah perilaku kepemimpinan
seperti ; attributed charisma, idealized influence, inspirational
motivation, intelectual stimulation, dan individualized consideration.
Secara ringkas perilaku dimaksud adalah sebagai berikut.
Attributed charisma. Bahwa kharisma secara tradisional
dipandang sebagai hal yang bersifat inheren dan hanya dimiliki oleh
pemimpin-pemimpin kelas dunia. Penelitian membuktikan bahwa kharisma bisa saja
dimiliki oleh pimpinan di level bawah dari sebuah organisasi. Pemimpin yang
memiliki ciri tersebut, memperlihatkan visi, kemampuan, dan keahliannya serta
tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan organisasi dan kepentingan orang
lain (masyarakat) daripada kepentingan pribadi. Karena itu, pemimpin
kharismatik dijadikan suri tauladan, idola, dan model panutan oleh bawahannya,
yaitu idealized influence.
Idealized influence. Pemimpin tipe ini berupaya mempengaruhi
bawahannya melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya
nilai-nilai, asumsi-asumsi, komitmen dan keyakinan, serta memiliki tekad untuk
mencapai tujuan dengan senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik
dari setiap keputusan yang dibuat. Ia memperlihatkan kepercayaan pada
cita-cita, keyakinan, dan nilai-nilai hidupnya. Dampaknya adalah dikagumi,
dipercaya, dihargai, dan bawahan berusaha mengindentikkan diri dengannya. Hal
ini disebabkan perilaku yang menomorsatukan kebutuhan bawahan, membagi resiko
dengan bawahan secara konsisten, dan menghindari penggunaan kuasa untuk
kepentingan pribadi. Dengan demikian, bawahan bertekad dan termotivasi untuk
mengoptimalkan usaha dan bekerja ke tujuan bersama.
Inspirational motivation. Pemimpin transformasional bertindak
dengan cara memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan melalui
pemberian arti dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan diberi untuk
berpartisipasi secara optimal dalam hal gagasan-gagasan, memberi visi mengenai
keadaan organisasi masa depan yang menjanjikan harapan yang jelas dan
transparan. Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan semangat kelompok, antusiasisme
dan optimisme dikorbankan sehingga harapan-harapan itu menjadi penting dan
bernilai bagi mereka dan perlu di realisasikan melalui komitmen yang tinggi.
Intelectual stimulation. Bahwa pemimpin mendorong bawahan untuk
memikirkan kembali cara kerja dan mencari cara-cara kerja baru dalam
menyelesaikan tugasnya. Pengaruhnya diharapkan, bawahan merasa pimpinan
menerima dan mendukung mereka untuk memikirkan cara-cara kerja mereka, mencari
cara-cara baru dalam menyelesaikan tugas, dan merasa menemukan cara-cara kerja
baru dalam mempercepat tugas-tugas mereka. Pengaruh positif lebih jauh adalah
menimbulkan semangat belajar yang tinggi (oleh Peter Senge, hal ini disebut
sebagai “learning organization”).
Individualized consideration. Pimpinan memberikan perhatian pribadi
kepada bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh dan
menghargai sikap peduli mereka terhadap organisasi. Pengaruh terhadap bawahan
antara lain, merasa diperhatian dan diperlakukan manusiawi dari atasannya.
Dengan demikian, kelima perilaku tersebut
diharapkan mampu berinteraksi mempengaruhi terjadinya perubahan perilaku
bawahan untuk mengoptimalkan usaha dan performance kerja yang lebih memuaskan
ke arah tercapainya visi dan misi organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar