Rabu, 08 Mei 2013

Kepemimpinan Otoriter

Salah satu syarat keberhasilan organisasi seperti sekolah adalah kemampuan kepemimpinan kepala sekolah. Apakah kepemimpinan itu? Kepemimpinan merupakan suatu fenomena universal. Seseorang dikatakan menjalankan tugas-tugas kepemimpinan, jika dalam tugas itu dia berinteraksi dengan dan mempengaruhi orang lain. Bahkan dalam kapasitas pribadi pun, di dalam tubuh manusia itu ada kemampuan atau potensi pengendali yang pada intinya memfasilitasi seseorang untuk dapat memimpin dirinya sendiri. Kepemimpinan adalah sebuah fenomena yang kompleks sehingga sukar untuk dibuat rumusan yang menyeluruh tentang arti kepemimpinan. Oleh karenanya, tidak ada satu definisi kepemimpinan pun dapat dirumuskan secara sangat lengkap dan mengabstraksikan perilaku sosial atau perilaku interaktif manusia di dalam organisasi yang memiliki regulasi dan struktur tertentu, serta misi yang kompleks.
Beberapa ahli mengemukakan definisi tentang kepemimpinan. D.E. McFarland (1978) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana pimpinan dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
J.M. Pfiffner (1980) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oteng Sutisna (1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mengambil inisiatif dalam situasi sosial untuk menciptakan bentuk dan prosedur baru, merancang dan mengatur perbuatan, dan dengan berbuat begitu membangkitkan kerjasama ke arah tercapainya tujuan. Sementara Sudarwan Danim (2006) mendefinisikan kepemimpinan adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok lain yang tergabung dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Beberapa definisi di atas memberi gambaran yang cukup luas dan mendalam tentang kepemimpina
Tipe-tipe Kepemimpinan
Hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin akan nampak dalam suatu pola yang menggambarkan tipe kepemimpinan seseorang. Proses hubungan antara seseorang yang memimpin dengan seseorang yang dipimpin juga akan nampak dalam pribadi seorang pemimpin, dan atas dasar inilah maka timbul beberapa tipe kepemimpinan, sebagai berikut:
  • Pemimpin otokatrik/otoriter.
  • Pemimpin demokratis.
  • Pemimpin permisif/laissez faire.
  • Pemimpin pseudo demokratis.
Tipe kepemimpinan yang otoriter biasanya berorientasi kepada tugas. Artinya dengan tugas yang diberikan oleh suatu lembaga atau suatu organisasi, maka kebijaksanaan dari lembaganya ini akan diproyeksikan dalam bagaimana ia memerintah kepada bawahannya agar kebijaksanaan tersebut dapat tercapai dengan baik. Di sini bawahan hanyalah suatu mesin yang dapat digerakkan sesuai dengan kehendaknya sendiri, inisiatif yang datang dari bawahan sama sekali tak pernah diperhatikan.
Tipe kepemimpinan demokratis merupakan tipe kepemimpinan yang mengacu pada hubungan. Di sini seorang pemimpin selalu mengadakan hubungan dengan yang dipimpinnya. Segala kebijaksanaan pemimpin akan merupakan hasil musyawarah atau akan merupakan kumpulan ide yang konstruktif. Pemimpin sering turun ke bawah guna mendapatkan informasi yang juga akan berguna untuk membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan selanjutnya.
Tipe kepemimpinan yang permisif atau laissez faire bisa bermakna serba boleh, serba mengiyakan, tidak mau ambil pusing, tidak bersikap dalam makna sikap sesungguhnya, dan apatis. Pemimpin permisif tidak mempunyai pendirian yang kuat, sikapnya serba boleh. Bawahan tidak mempunyai pegangan yang jelas, informasi diterima simpang siur dan tidak konsisten.
Pemimpin pseudo demokratis adalah tipe pemimpin yang menjadikan demokrasi sebagai selubung untuk memperoleh kemenangan tertentu. Dia sebenarnya otoriter, akan tetapi berbuat seolah-olah demokratis.
Dalam implementasinya, sifat-sifat tersebut sering dimiliki secara bersamaan oleh seorang leader (pemimpin), sehingga dalam melaksanakan kepemimpinannya, sifat-sifat tersebut muncul secara situasional. Oleh karena itu seorang pemimpin mungkin bersifat demokratis, otoriter dan mungkin permisif.
Meskipun seorang pemimpin ingin selalu bersikap demokratis, namun seringkali situasi dan kondisi menuntut untuk bersikap lain; misalnya harus otoriter. Dalam hal tertentu sifat kepemimpinan otoriter lebih cepat digunakan dalam pengambilan suatu keputusan. Seorang pemimpin dapat menggunakan tipe kepemimpinan sesuai dengan situasi dan kondisi yang tengah dihadapi.
Kepemimpinan Otoriter/Otokratik
Kata otokratik dapat diartikan sebagai tindakan menurut kemauan sendiri, setiap produk pemikiran dipandang benar, keras kepala, atau rasa “aku” yang keberterimaannya pada khalayak bersifat dipaksakan. Ketika perilaku atau sikap itu ditampilkan oleh pimpinan, lahirlah yang disebut dengan kepemimpinan otokratik atau kepemimpinan otoriter. Kepemimpinan otokratik bertolak dari anggapan bahwa pimpinanlah yang memiliki tanggung jawab poenuh terhadap organisasi. Pemimpin otokratik berasumsi bahwa maju-mundurnya organisasi hanya tergantung kepada dirinya. Dia bekerja sungguh-sungguh, belajar kelas, tertib, dan tidak boleh dibantah. Sikapnya senantiasa mau menang sendiri, tertutup terhadap ide dari luar, dan hanya idenya yang dianggap akurat. Pimpinan otokratik memiliki ciri antara lain:
  • Beban kerja organisasi pada umumnya ditanggung oleh pimpinan.
  • Bawahan, oleh pimpinan hanya dianggap sebagai pelaksana dan mereka tidak boleh memberikan ide-ide baru.
  • Bekerja keras, disiplin tinggi dan tidak kenal lelah.
  • Menentukan kebijakan sendiri dan kalaupun bermusyawarah sifatnya hanya penawaran saja.
  • Memiliki kepercayaan rendah terhadap bawahan dan kalaupun kepercayaan diberikan, di dalam dirinya penuh ketidakpercayaan.
  • Komunikasi dilakukan secara tertutup dan satu arah.
  • Korektif dan minta penyelesaian tugas pada waktu sekarang.
Kelebihan tipe kepemimpinan otoriter:
  • Seorang pemimpin otoriter biasanya bersifat pekerja keras dan memiliki disiplin tinggi.
  • Penentuan keputusan lebih cepat karena tidak menggunakan musyawarah atau diskusi.
Kekurangan tipe kepemimpinan otoriter:
  • Bawahan tidak memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ide-ide baru.
  • Kurangnya komunikasi antara pimpinan dan bawahan.
  • Bawahan kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Kepala Sekolah yang Otoriter
Seorang kepala sekolah yang bersikap otoriter akan nampak seperti pada ciri-ciri yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu dalam menjalankan roda kepemimpinannya, kepala sekolah otoriter seringkali menggunakan strategi gaya mendikte dan menjual.
Gaya mendikte dapat digunakan ketika para tenaga kependidikan berada dalam tingkat kematangan rendah, sehingga perlu petunjuk serta pengawasan yang jelas. Gaya ini disebut mendikte karena pemimpin dituntut untuk mengatakan apa, bagaimana, kapan, dan di mana tugas dilakukan. Gaya ini ditekankan pada tugas, sedangkan hubungan hanya dilakukan sekedarnya.
Gaya menjual digunakan ketika kondisi tenaga kependidikan di sekolah berada pada tahap rendah sampai moderat, sehingga mereka telah memiliki kemauan untuk meningkatkan profesionalismenya tetapi belum didukung oleh kemampuan yang memadai. Gaya ini disebut menjual karena pemimpin banyak memberikan petunjuk. Dalam tingkat kematangan tenaga kependidikan seperti ini maka diperlukan tugas yang tinggi serta hubungan yang tinggi agar dapat memelihara dan meningkatkan kemampuan dan kemampuan yang telah dimiliki.
Seorang kepala sekolah yang otoriter dapat memicu timbunya berbagai perilaku pada tenaga kependidikan yang menjadi bawahannya dalam hal ini para guru. Seperti perilaku paternalistik, kepatuhan semu, kemandirian dalam bekerja lemah, konsensus, dan menghindar.
Perilaku paternalistik dalam kepemimpinan memunculkan sikap dan keengganan bawahan untuk mengungkapkan pikiran, pendapat serta kritik terhadap atasan karena khawatir dianggap menentang atasan, dominasi kepala sekolah menghalangi munculnya gagasan pembaharuan dari bawah.
Perilaku kepatuhan semu adalah kepatuhan, loyalitas dan rasa hormat selama kepala sekolah menduduki posisi pimpinan. Loyalitas akan hilang setelah pemimpin diganti atau mengalami rotasi. Dalam pendekatan kepatuhan semua ini sumber daya manusia sering digunakan secara tidak efektif.
Perilaku kemandirian kurang karena telah terkondisi kebiasaan menunggu perintah dan instruksi atasan sehingga inisiatif, kreatif dan tanggung jawab kurang bagi bawahan.
Perilaku konsensus merupakan produk musyawarah atas dasar gotong royong, tetapi dalam kenyataannya sering dimanipulasi menjadi arena penggarapan, kalau perlu dengan tekanan.
Kepala sekolah hendaknya bersikap terbuka tetapi tetap menjaga jarak dengan tenaga kependidikan, agar mereka dapat mengemukakan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan tugasnya sebagai tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap permasalahan yang dihadapi oleh para tenaga kependidikan dapat segera diselesaikan dan dipecahkan bersama, sehingga tidak ada masalah yang berlarut-larut dan mengganggu tugas utama yang harus dikerjakan
Guru yang Otoriter dan Pengaruhnya Terhadap Pembelajaran
Seorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai seorang pengajar, apabila bersikap otoriter akan menunjukkan beberapa ciri sebagai berikut:
  • Berorientasi pada tugas, dalam artian petunjuk atau bimbingan yang diberikan kepada siswa berupa tugas semata, tanpa memperhatikan hubungan manusiawi antara guru dan siswa.
  • Inisiatif atau pendapat siswa jarang diperhatikan.
  • Kurang percaya terhadap kemampuan siswa.
  • Merasa paling benar dan selalu benar.
Sikap-sikap otoriter yang diterapkan seorang guru dalam mengelola pembelajarannya seringkali membawa pengaruh yang kurang positif bagi para siswa, diantaranya:
  • Siswa menjadi pasif dan mati inisiatifnya, yang pada akhirnya mengurangi ketertarikan siswa untuk belajar.
  • Siswa menjadi kurang mandiri dalam proses pembelajaran, karena selalu menunggu petunjuk dan arahan dari guru.
  • Kepatuhan dan kedisiplinan siswa bersifat semu, hanya terjadi jika guru berada di dalam kelas atau di sekitar para siswa.
Pengaruh-pegaruh seperti ini tentunya bukanlah hal yang baik dalam proses pembelajaran di sekolah. Seorang guru hendaknya bersikap sebagai seorang pimpinan dan pengelola kelas yang lebih demokratis. Bukannya menempatkan siswa sebagai mesin yang digerakkan sesuai dengan kemauan guru. Karena perlakuan yang demokratis jauh lebih memperhatikan hubungan dan interaksi antara siswa dan guru, sudah sepatutnya pola ini dikembangkan dalam setiap kegiatan pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar