Salah satu syarat keberhasilan organisasi
 seperti sekolah adalah kemampuan kepemimpinan kepala sekolah. Apakah 
kepemimpinan itu? Kepemimpinan merupakan suatu fenomena universal. 
Seseorang dikatakan menjalankan tugas-tugas kepemimpinan, jika dalam 
tugas itu dia berinteraksi dengan dan mempengaruhi orang lain. Bahkan 
dalam kapasitas pribadi pun, di dalam tubuh manusia itu ada kemampuan 
atau potensi pengendali yang pada intinya memfasilitasi seseorang untuk 
dapat memimpin dirinya sendiri. Kepemimpinan adalah sebuah fenomena yang
 kompleks sehingga sukar untuk dibuat rumusan yang menyeluruh tentang 
arti kepemimpinan. Oleh karenanya, tidak ada satu definisi kepemimpinan 
pun dapat dirumuskan secara sangat lengkap dan mengabstraksikan perilaku
 sosial atau perilaku interaktif manusia di dalam organisasi yang 
memiliki regulasi dan struktur tertentu, serta misi yang kompleks.
Beberapa ahli mengemukakan definisi 
tentang kepemimpinan. D.E. McFarland (1978) mengemukakan bahwa 
kepemimpinan adalah suatu proses di mana pimpinan dilukiskan akan 
memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi 
pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah 
ditetapkan.
J.M. Pfiffner (1980) mengemukakan bahwa 
kepemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu
 atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oteng Sutisna 
(1983) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mengambil 
inisiatif dalam situasi sosial untuk menciptakan bentuk dan prosedur 
baru, merancang dan mengatur perbuatan, dan dengan berbuat begitu 
membangkitkan kerjasama ke arah tercapainya tujuan. Sementara Sudarwan 
Danim (2006) mendefinisikan kepemimpinan adalah setiap tindakan yang 
dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi 
arah kepada individu atau kelompok lain yang tergabung dalam wadah 
tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. 
Beberapa definisi di atas memberi gambaran yang cukup luas dan mendalam 
tentang kepemimpina
Tipe-tipe Kepemimpinan
Hubungan antara pemimpin dengan yang 
dipimpin akan nampak dalam suatu pola yang menggambarkan tipe 
kepemimpinan seseorang. Proses hubungan antara seseorang yang memimpin 
dengan seseorang yang dipimpin juga akan nampak dalam pribadi seorang 
pemimpin, dan atas dasar inilah maka timbul beberapa tipe kepemimpinan, 
sebagai berikut:
- Pemimpin otokatrik/otoriter.
 - Pemimpin demokratis.
 - Pemimpin permisif/laissez faire.
 - Pemimpin pseudo demokratis.
 
Tipe kepemimpinan yang otoriter biasanya 
berorientasi kepada tugas. Artinya dengan tugas yang diberikan oleh 
suatu lembaga atau suatu organisasi, maka kebijaksanaan dari lembaganya 
ini akan diproyeksikan dalam bagaimana ia memerintah kepada bawahannya 
agar kebijaksanaan tersebut dapat tercapai dengan baik. Di sini bawahan 
hanyalah suatu mesin yang dapat digerakkan sesuai dengan kehendaknya 
sendiri, inisiatif yang datang dari bawahan sama sekali tak pernah 
diperhatikan.
Tipe kepemimpinan demokratis merupakan 
tipe kepemimpinan yang mengacu pada hubungan. Di sini seorang pemimpin 
selalu mengadakan hubungan dengan yang dipimpinnya. Segala kebijaksanaan
 pemimpin akan merupakan hasil musyawarah atau akan merupakan kumpulan 
ide yang konstruktif. Pemimpin sering turun ke bawah guna mendapatkan 
informasi yang juga akan berguna untuk membuat 
kebijaksanaan-kebijaksanaan selanjutnya.
Tipe kepemimpinan yang permisif atau 
laissez faire bisa bermakna serba boleh, serba mengiyakan, tidak mau 
ambil pusing, tidak bersikap dalam makna sikap sesungguhnya, dan apatis.
 Pemimpin permisif tidak mempunyai pendirian yang kuat, sikapnya serba 
boleh. Bawahan tidak mempunyai pegangan yang jelas, informasi diterima 
simpang siur dan tidak konsisten.
Pemimpin pseudo demokratis adalah tipe 
pemimpin yang menjadikan demokrasi sebagai selubung untuk memperoleh 
kemenangan tertentu. Dia sebenarnya otoriter, akan tetapi berbuat 
seolah-olah demokratis.
Dalam implementasinya, sifat-sifat 
tersebut sering dimiliki secara bersamaan oleh seorang leader 
(pemimpin), sehingga dalam melaksanakan kepemimpinannya, sifat-sifat 
tersebut muncul secara situasional. Oleh karena itu seorang pemimpin 
mungkin bersifat demokratis, otoriter dan mungkin permisif.
Meskipun seorang pemimpin ingin selalu 
bersikap demokratis, namun seringkali situasi dan kondisi menuntut untuk
 bersikap lain; misalnya harus otoriter. Dalam hal tertentu sifat 
kepemimpinan otoriter lebih cepat digunakan dalam pengambilan suatu 
keputusan. Seorang pemimpin dapat menggunakan tipe kepemimpinan sesuai 
dengan situasi dan kondisi yang tengah dihadapi.
Kepemimpinan Otoriter/Otokratik
Kata otokratik dapat diartikan sebagai 
tindakan menurut kemauan sendiri, setiap produk pemikiran dipandang 
benar, keras kepala, atau rasa “aku” yang keberterimaannya pada khalayak
 bersifat dipaksakan. Ketika perilaku atau sikap itu ditampilkan oleh 
pimpinan, lahirlah yang disebut dengan kepemimpinan otokratik atau 
kepemimpinan otoriter. Kepemimpinan otokratik bertolak dari anggapan 
bahwa pimpinanlah yang memiliki tanggung jawab poenuh terhadap 
organisasi. Pemimpin otokratik berasumsi bahwa maju-mundurnya organisasi
 hanya tergantung kepada dirinya. Dia bekerja sungguh-sungguh, belajar 
kelas, tertib, dan tidak boleh dibantah. Sikapnya senantiasa mau menang 
sendiri, tertutup terhadap ide dari luar, dan hanya idenya yang dianggap
 akurat. Pimpinan otokratik memiliki ciri antara lain:
- Beban kerja organisasi pada umumnya ditanggung oleh pimpinan.
 - Bawahan, oleh pimpinan hanya dianggap sebagai pelaksana dan mereka tidak boleh memberikan ide-ide baru.
 - Bekerja keras, disiplin tinggi dan tidak kenal lelah.
 - Menentukan kebijakan sendiri dan kalaupun bermusyawarah sifatnya hanya penawaran saja.
 - Memiliki kepercayaan rendah terhadap bawahan dan kalaupun kepercayaan diberikan, di dalam dirinya penuh ketidakpercayaan.
 - Komunikasi dilakukan secara tertutup dan satu arah.
 - Korektif dan minta penyelesaian tugas pada waktu sekarang.
 
Kelebihan tipe kepemimpinan otoriter:
- Seorang pemimpin otoriter biasanya bersifat pekerja keras dan memiliki disiplin tinggi.
 - Penentuan keputusan lebih cepat karena tidak menggunakan musyawarah atau diskusi.
 
Kekurangan tipe kepemimpinan otoriter:
- Bawahan tidak memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ide-ide baru.
 - Kurangnya komunikasi antara pimpinan dan bawahan.
 - Bawahan kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
 
Kepala Sekolah yang Otoriter
Seorang kepala sekolah yang bersikap 
otoriter akan nampak seperti pada ciri-ciri yang telah disebutkan 
sebelumnya. Selain itu dalam menjalankan roda kepemimpinannya, kepala 
sekolah otoriter seringkali menggunakan strategi gaya mendikte dan 
menjual.
Gaya mendikte dapat digunakan ketika para
 tenaga kependidikan berada dalam tingkat kematangan rendah, sehingga 
perlu petunjuk serta pengawasan yang jelas. Gaya ini disebut mendikte 
karena pemimpin dituntut untuk mengatakan apa, bagaimana, kapan, dan di 
mana tugas dilakukan. Gaya ini ditekankan pada tugas, sedangkan hubungan
 hanya dilakukan sekedarnya.
Gaya menjual digunakan ketika kondisi 
tenaga kependidikan di sekolah berada pada tahap rendah sampai moderat, 
sehingga mereka telah memiliki kemauan untuk meningkatkan 
profesionalismenya tetapi belum didukung oleh kemampuan yang memadai. 
Gaya ini disebut menjual karena pemimpin banyak memberikan petunjuk. 
Dalam tingkat kematangan tenaga kependidikan seperti ini maka diperlukan
 tugas yang tinggi serta hubungan yang tinggi agar dapat memelihara dan 
meningkatkan kemampuan dan kemampuan yang telah dimiliki.
Seorang kepala sekolah yang otoriter 
dapat memicu timbunya berbagai perilaku pada tenaga kependidikan yang 
menjadi bawahannya dalam hal ini para guru. Seperti perilaku 
paternalistik, kepatuhan semu, kemandirian dalam bekerja lemah, 
konsensus, dan menghindar.
Perilaku paternalistik dalam kepemimpinan
 memunculkan sikap dan keengganan bawahan untuk mengungkapkan pikiran, 
pendapat serta kritik terhadap atasan karena khawatir dianggap menentang
 atasan, dominasi kepala sekolah menghalangi munculnya gagasan 
pembaharuan dari bawah.
Perilaku kepatuhan semu adalah kepatuhan,
 loyalitas dan rasa hormat selama kepala sekolah menduduki posisi 
pimpinan. Loyalitas akan hilang setelah pemimpin diganti atau mengalami 
rotasi. Dalam pendekatan kepatuhan semua ini sumber daya manusia sering 
digunakan secara tidak efektif.
Perilaku kemandirian kurang karena telah 
terkondisi kebiasaan menunggu perintah dan instruksi atasan sehingga 
inisiatif, kreatif dan tanggung jawab kurang bagi bawahan.
Perilaku konsensus merupakan produk 
musyawarah atas dasar gotong royong, tetapi dalam kenyataannya sering 
dimanipulasi menjadi arena penggarapan, kalau perlu dengan tekanan.
Kepala sekolah hendaknya bersikap terbuka
 tetapi tetap menjaga jarak dengan tenaga kependidikan, agar mereka 
dapat mengemukakan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam 
melaksanakan tugasnya sebagai tenaga kependidikan. Dengan demikian, 
setiap permasalahan yang dihadapi oleh para tenaga kependidikan dapat 
segera diselesaikan dan dipecahkan bersama, sehingga tidak ada masalah 
yang berlarut-larut dan mengganggu tugas utama yang harus dikerjakan
Guru yang Otoriter dan Pengaruhnya Terhadap Pembelajaran
  Seorang guru dalam 
melaksanakan tugas sebagai seorang pengajar, apabila bersikap otoriter 
akan menunjukkan beberapa ciri sebagai berikut:
- Berorientasi pada tugas, dalam artian petunjuk atau bimbingan yang diberikan kepada siswa berupa tugas semata, tanpa memperhatikan hubungan manusiawi antara guru dan siswa.
 - Inisiatif atau pendapat siswa jarang diperhatikan.
 - Kurang percaya terhadap kemampuan siswa.
 - Merasa paling benar dan selalu benar.
 
Sikap-sikap otoriter yang diterapkan 
seorang guru dalam mengelola pembelajarannya seringkali membawa pengaruh
 yang kurang positif bagi para siswa, diantaranya:
- Siswa menjadi pasif dan mati inisiatifnya, yang pada akhirnya mengurangi ketertarikan siswa untuk belajar.
 - Siswa menjadi kurang mandiri dalam proses pembelajaran, karena selalu menunggu petunjuk dan arahan dari guru.
 - Kepatuhan dan kedisiplinan siswa bersifat semu, hanya terjadi jika guru berada di dalam kelas atau di sekitar para siswa.
 
Pengaruh-pegaruh seperti ini tentunya 
bukanlah hal yang baik dalam proses pembelajaran di sekolah. Seorang 
guru hendaknya bersikap sebagai seorang pimpinan dan pengelola kelas 
yang lebih demokratis. Bukannya menempatkan siswa sebagai mesin yang 
digerakkan sesuai dengan kemauan guru. Karena perlakuan yang demokratis 
jauh lebih memperhatikan hubungan dan interaksi antara siswa dan guru, 
sudah sepatutnya pola ini dikembangkan dalam setiap kegiatan 
pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar