Pengertian pembinaan perilaku organisasi
Istilah pembinaan perilaku organisasi (managing
organizational behaviour) pada dasarnya lebih sering dipergunakan dalam praktek
pembinaan sumber daya manusia dalam organisasi untuk menggambarkan adanya upaya
perubahan perilaku organisasi menuju kondisi yang lebih baik dan lebih positif,
yang bertujuan agar perilaku organisasi mendukung tercapainya kinerja pelayanan
yang lebih baik secara terus menerus. Dalam tatanan konsep teoritis, istilah
yang sering dipergunakan adalah shaping behaviour (Robbins, 2003:59) dan
behaviour modification (Dessler, 1986:336).
Istilah pembinaan perilaku organisasi dipergunakan
sebagai padanan yang lebih tepat daripada istilah pembentukan perilaku
organisasi atau shaping behaviour yang dipergunakan oleh Robbins
(2003:39), di mana Robbins mengemukakan bahwa shaping behaviour adalah proses
memperkuat secara sistemtis setiap tindakan yang menggerakkan seorang individu
lebih mendekati respon yang diinginkan.
Di samping istilah shaping behaviour yang
dipergunakan oleh Robbins (2003:59), Dessler (1986:336) menggunakan istilah
behaviour modifications (a term that is often used synonymously with operant
conditioning) involves changing (modifiying) behaviour throught the use of
reward or punishment.
Memperhatikan pengertian yang terkandung dalam
behaviour modification yang dikemukakan oleh Dessler (1986:336) ternyata di
dalamnya terdapat faktor perubahan perilaku ke arah perilaku organisasi yang
dinginkan. Cara atau metode yang digunakan untuk mewujudkan perubahan perilaku
organisasi, dan memiliki substansi yang sama dengan shaping behavior menurut
Robbins (2003:59), karena sama-sama menunjuk kepada perubahan perilaku
organisasi yang diinginkan ke arah perilaku yang lebih positif.
Setelah memahami beberapa faktor yang terkandung dalam
pengertian shaping behaviour dan behaviour modification, maka dalam penulisan
ini pembinaan perilaku organisasi adalah suatu proses yang terencana untuk
mewujudkan perilaku organisasi yang positif dengan berdasarkan formalisasi
dalam struktur organisasi dan berpedoman pada norma-norma organisasi yang
berlaku.
- Proses pembinaan perilaku organisasi.
Sebagaimana pengertian yang dikemukakan oleh Robbins
(2003:59) bahwa terdapat proses sistematis dalam pembinaan perilaku organisasi,
maka proses sistematis yang dimaksud terjadi dalam tahapan-tahapan yang
berurutan, mulai dari penyusunan dan pembentukan kelompok organisasi^dan
struktur organisasi, dimana tiap individu membawa serta perilaku masing-masing
sampai dengan tahap aplikasi norma dan motivasi dalam pembinaan perilaku
organisasi.
Donovan (1994:48-49) mengatakan bahwa proses pembinaan
perilaku organisasi dilakukan secara bertahap, dan searah dengan model
pengembangan kelompok yang dikenalkan Tuckman, yang mengatakan bahwa terdapat
lima tahap dalam pembentukan kelompok yang berkaitan dengan perilaku
organisasi, yakni:
- Stage 1 Forming
- Stage 2 Storming
- Stage 3 Norming
- Stage 4 Performing
- Stage 5 Ceasing
Tahap forming merupakan awal dalam pengembangan
kelompok, dan pada tahap awal tersebut, tiap-tiap individu membawa perilaku
masing-masing. Pada organisasi yang mudah terbentuk, seperti organisasi
Pemerintah Daerah, terhadap forming terjadi dengan sendirinya, mengikuti
kelompok yang sudah mapan terbentuk.
Pada tahap selanjutnya, storming, mulai dibentuk pola
hubungan antara individu dan antara kelompok dalam satu organisasi. Pada
organisasi yang sudah mapan. Tahap storming sebagaimana juga pada tahap
forming, tidak lagi menjadi tahap yang secara khusus diperlukan Tahap ke tiga,
norming, atau pembentukan norma dan standar dalam perilaku, yang mana pada
tahap ini terjadi pembentukan norma, perilaku kelompok, kebersamaan dan
keterpaduan. Pada tahap keempat, performing, telah terbentuk satu
kelompok yang telah memiliki standar norma yang kuat tingkat informal yang kuat
serta saling mendukung satu dengan lainnya.
Melihat pentahapan pengembangan kelompok dari Tuckman
tersebut, ternyata bahwa dalam pembinaan perilaku organisasi, tahap yang paling
kritis dan sulit dalam pelaksanaannya adalah tahap norming dan tahap
performing, karena pada tahap-tahap inilah terjadi proses intensif dengan
mempergunakan metode pembinaan perilaku pegawai, yakni melalui penguatan
positif (reward) penguatan negatif (punishment), pelatihan dan pembelajaran.
Dengan mengacu pada pendapat Nigro and Nigro mengenai
organizational development (1977:150) maka pembinaan perilaku pegawai merupakan
bagian dari proses pengembangan organisasi, sehingga dengan demikian, kegiatan
pembinaan perilaku difokuskan pada beberapa bentuk yang searah dengan dan
menunjang pengembangan organisasi, yakni:
1)
Pembinaan perilaku pegawai saat berhubungan dengan lingkungan, agar memberikan
pelayanan publik yang murah, mudah, lancar, efisien dan adil, dan sesuai
standar dan prosedur yang telah ditetapkan.
2)
Pembinaan perilaku pegawai saat berhubungan dengan sesama pegawai dan membentuk
satu kesatuan atau kelompok dalam organisasi.
3)
Pembinaan perilaku pegawai dalam memahami, menyikapi, dan melaksanakan tugas
pokok organisasi yang tercantum dalam uraian tugas pokok, serta sesuai standar,
prosedur dan mekanisme organisasi.
4)
Pembinaan perilaku pegawai yang kondusif pada saat pegawai berhubungan dengan
organisasi dan melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal
ini diupayakan agar perilaku pegawai searah dengan tugas pokok dan mendukung
pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh.
- Kerangka dasar untuk pembinaan prilaku organisasi
3.1. Formalisasi dan standarisasi dalam
struktur organisasi pemerintah daerah sebagai dasar pembinaan perilaku
organisasi
Struktur organisasi merupakan salah satu faktor yang
membentuk perilaku pegawai, di samping faktor lingkungan organisasi. Robbins
(2003) mengatakan bahwa perilaku pegawai ditentukan oleh pengaturan struktur,
posisi yang ditempati, peranan yang dimainkan dalam hubungan organisasi. Posisi
pegawai dalam struktur memberi bentuk pada perilaku, begitu juga halnya dengan
peranan yang teruraikan dalam uraian tugas. Rivai (2003:303) menggambarkan
bahwa karakteristik perilaku pegawai dalam organisasi ditentukan oleh struktur,
status hirarki dan peran dalam organisasi. Pendapat lain dikemukakan oleh
Wilson (1989:59-69) bahwa dalam organisasi perlu adanya defining task, secara
jelas dan terurai dalam struktur organisasi, untuk membentuk perilaku pegawai
yang sesuai dengan tujuan organisasi dan mendukung pencapaian tujuan
organisasi.
3.2. Norma organisasi sebagai pegangan dan acuan
dalam pembinaan perilaku organisasi Pemerintah Daerah.
Norma dalam organisasi merupakan nilai yang tertulis
maupun yang tidak tertulis yang hidup dan dipergunakan dalam organisasi, agar
organisasi berjalan baik untuk mencapai tujuan. Norma organisasi pada dasarnya
berisi ketentuan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota organisasi
agar tidak terjadi konflik dalam kehidupan organisasi.
Norma organisasi bersumber dari nilai-nilai leluhur
yang dianut dalam masyarakat. Sebagai manusia ciptaan Tuhan, umat beragama,
norma-norma agama tentang hal-hal yang baik dan buruk menjadi dasar kehidupan
dalam masyarakat. Di samping itu, budaya yang hidup dan menjadi sumber norma
dalam kehidupan organisasi.
Dalam kehidupan organisasi Pemerintah Daerah, norma
yang berlaku pada umumnya adalah norma yang mengatur kehidupan disiplin
pegawai, pemberian hukuman dan penghargaan, peraturan pembinaan kepegawaian
mulai dari rekruitmen, penempatan, promosi dan pemberhentian pegawai mulai dari
recruitment, penempatan promosi dan pemberhentian pegawai.
Bagi organisasi Pemerintah Daerah norma-norma yang
tertulis menjadi dasar dalam pembinaan perilaku organisasi dan menjadi pegangan
dan acuan dalam pemberian reward dan punishment.
3.3. Metode pembinaan perilaku dan tujuan yang ingin
dicapai
Dessler (1986:337) mengemukakan adanya dua konsep
penting dalam modifikasi perilaku organisasi, yakni mengenai "the types of
reinforcement and the schedule of reinforcement". Mengenai the types of
inforcement, baik Dessler, (1986) maupun Robbins (2003) sama-sama mengemukakan
adanya empat tipe atau bentuk dalam modifikasi perilaku organisasi. Robbins
(2003:59) mengemukakan adanya empat cara untuk pembentukan perilaku, lewat
penguatan positif, penguatan negatif, pemunahan dan penghukuman. Sedangkan
Dessler (1986:337) menyebut positive reinforcement, negative reinforcement,
extinction and punishment.
Berkaitan dengan tujuan pembinaan perilaku, Dessler
(1986:337) mengemukakan adanya (1) undesired behaviour yakni perilaku yang
harus dihindari, dan diberikan hukuman, negative reinforcement, dan punishment,
serta (2) desired behaviour atau perilaku yang diinginkan untuk diwujudkan
melalui pemberian reward, atau positif reinforcement. Dessler (1986:336)
mengatakan pula bahwa behaviour modification dilakukan melalui proses
reinforcement, through the use of rewards or punishment. Dalam rangka
mewujudkan desired behviorment.
Setelah memperhatikan tipe dengan jenis kegiatan dalam
pembinaan perilaku organisasi yang dikemukakan oleh Dessler (1986), Robbins
(2003), ternyata bahwa pembinaan perilaku organisasi pada hakekatnya bertujuan
mewujudkan perilaku organisasi yang positif melalui reinforcement (penguatan)
baik positive reinforcement, serta reward and punishment,disertai dengan
pemberian motivasi, penanaman disiplin kerja, pembelajaran dalam kelompok, dan program
pelatihan dan mentor dalam organisasi.
- Beberapa Bentuk Perilaku Birokrasi yang Negatif
Perilaku yang terbentuk dengan positif, akan mencegah
terjadinya berbagai bentuk perilaku yang negatif dalam pemberian pelayanan.
Gartson (1993:118) mengatakan bahwa perilaku birokrat ada yang bersifat moral
hazard, oleh sebab itu disebut perilaku organisasi yang negatif, dalam
bentuk-bentuk yang antara lain principal agent theory, dimana disebutkan
bahwa the agent has his/her objectives, which need no correspond to those of
the principal. Menurut Gartson, (1993:118), principal dalam pemberian
pelayanan publik adalah warga masyarakat, yang memberikan kepercayaan kepada
birokrasi untuk melakukan tugas pelayanan, sedangkan agent adalah birokrasi
yang bertugas memberikan pelayanan.
Perilaku lain dari birokrasi yang kurang menguntungkan
menurut (Gartson (1993:114) adalah adanya biaya transaksi (transaction cost)
yang sering muncul dalam pembayaran atau cost dalam pemberian pelayanan publik
di luar ketentuan yang telah ditetapkan.
Di samping agent and principal relation dan biaya
transaksi, perilaku yang umum dalam organisasi privat dan juga banyak dijumpai
dalam organisasi publik adalah gejala bounded rationality (Pfeffer 1992:135).
Menurut Pfeffer, bounded rationality adalah gejala terbatasnya pemahaman dari
para agent yang berada pada posisi borderline atau bagian dari struktur
organisasi yang memberikan pelayanan, terhadap keinginan, perintah atau
pengarahan dari pimpinan organisasi, sehingga para agent sering bertindak di
luar keinginan pimpinan. Di samping itu Pfeffer mengatakan adanya opportunistic
behaviour oleh para anggota organisasi, yang merupakan bentuk perilaku negatif
dalam organisasi privat maupun publik.
Hadirnya gejala principal and agent theory,
transaction cost, bounded rationality'dan opportunistic behaviour merupakan
bukti dari perilaku organisasi yang kurang menguntungkan dalam pemberian
pelayanan, dan hal itu dapat dihilangkan dengan proses pembinaan perilaku
organisasi.
Peningkatan
mutu pelayanan publik pada organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota.
Apabila dikaitkan dengan aspek organisasi dalam
pemberian pelayanan sebagaimana dikemukakan oleh Lovelock (1994:179)
Zeithaml-Parasuraman-Berry (1990:23) dan De Vyre (2003), maka mutu pelayanan
yang lebih baik dapat diwujudkan apabila organisasi dan aparatur pemberi
pelayanan mampu memberikan informasi, konsultasi, keramahan, dan perhatian,
dengan struktur organisasi yang ditata dan diberdayakan (empowering) agar
memberikan respon yang cepat dan diberikan oleh pegawai yan memiliki kompetensi
dan perilaku yang positif.
Mengenai gerakan peningkatan mutu pelayanan publik,
Milakovick (1995:11) mengemukakan bahwa pada pertengahan tahun 1980-an, para
ahli pemerintahan "sounded the alarm by identifying the lack of a
consistent model of frame work for managing service as the reason most often
citedfor customer dissatisfaction ".
Seiring dengan berkembangnya prinsip reinventing
government, dengan mengaplikasikan semangat entrepreneurship ke dalam
organisasi publik, maka prinsip customer driven government yang menempatkan
masyarakat sebagai pelanggan yang harus dilayani dan dipuaskan, maka TQS
sebagai suatu strategi dapat diaplikasikan pada organisasi publik, dan proses
pemberian pelayanan publik. TQS merupakan suatu strategi yang bersifat
komprehensif yang melibatkan semua aspek dalam organisasi. Milakovich (1995:23)
mengatakan bahwa: "TQS is not an end in itself, but rather a carefully
designed and executed strategy for improving processes, and services through
continnual improvements in quality, reliability, sistem and performance ".
Gerakan untuk memperbaiki kualitas pelayanan pada
organisasi publik didasari oleh pemikiran yang mendudukkan masyarakat sebagai
pelanggan dan konsumen dari public goods dan civil services, dan organisasi
pemerintah adalah produser dan provider semua jenis public goods dan layanan
civil. Dalam konteks organisasi bisnis, pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan menentukan kesetiaan pelanggan membeli produk diantara beberapa
produser yang menjadi kompetitor. Sedangkan dalam organisasi publik mutu
pelayanan organisasi publik menentukan kepercayaan masyarakat terhadap janji
yang diberikan pemerintah, sesuai dengan hubungan janji dengan percaya
(Ndraha,2003:105).
Milakovich (1995:75) mengatakan bahwa terdapat tiga
aspek yang menentukan dalam peningkatan mum pelayanan, yakni : (1) physical
surroundings, (2) sistem processes dan (3) human resources. Apabila di
implementasikan pada organisasi Pemerintah Daerah, maka dapat dilakukan analog
bahwa dalam lingkungan organisasi Pemerintah Daerah otonomi Kabupaten, terdapat
beberapa aspek yang sangat menentukan dalam peningkatan mum pelayanan publik,
sebagai berikut:
1) Adanya perangkat-perangkat organisasi
Pemerintah Daerah dan unit-unit organisasinya dengan segala kelengkapan kantor
dan peralatan yang dibutuhkan, pada posisi dan keadaan yang mudah terjangkau,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2) Adanya sistem dan proses pemberian
pelayanan yang dibangun menyertai dan inherent dalam struktur dan tatalaksana
organisasi Pemerintah Daerah.
3) Adanya sumber daya manusia pegawai yang
terlatih dengan ketrampilan dan perilaku yang kondusif untuk memberikan
pelayanan publikyang bermutu.
Kaitan
antara Ketiga aspek yang dibutuhkan sebagai penentu mutu
pelayanan publik tadi pada dasarnya merupakan aspek-aspek utama yang terkandung
dalam organisasi Pemerintah Daerah. Aspek yang ke (1) dan (2) merupakan bagian
dari penataan organisasi. Itulah sebabnya maka penataan organisasi Pemerintah
Daerah dengan penataan sistem dan prosedur pelayanan, serta pembinaan perilaku
pegawai merupakan kebijakan yang harus dilakukan dalam peningkatan mutu
pelayanan publik pada daerah otonomi Kabupaten.
Formalisasi dalam organisasi, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Dessler (1986:193) dilaksanakan dalam rangka pembinaan
perilaku pegawai. Formalisasi menurut Dessler (1986:193) berbentuk (1)
Formalization by job, (2) Formalization by work flow, (3) Formalization by
rules, dan (4) Formalization by Struktur, Prayudi (1996:108) mengemukakan
pula bahwa formalisaasi dilakukan dengan regulasi, dan prosedur, dan
standarisasi. Formalisasi juga menyangkut penyusunan uraian tugas pokok dan
tugas jabatan dalam organisasi, dan pada akhirnya dapat dikemukakan pula bahwa
bentuk formalisasi dalam struktur organisasi akan membentuk proses pemberian
perilaku organisasi.
pembinaan
perilaku organisasi dengan mutu pelayanan publik
Kualitas pelayanan berkaitan dengan terpenuhinya
standar pelayanan dan harapan dan keinginan masyrakat terhadap pelayanan yang
mereka terima. Kualitas pelayanan berkaitan pula dengan kepuasan peianggan
(masyarakat dalam hal pelayanan publik) terhadap pelayanan yang diberikan.
Lukman (1999 :26) menyatakan bahwa mutu produk yang dihasilkan baru dapat
dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat
dimanfaatkan dengan baik, dan diproduksi (dihasilkan) dengan cara yang baik dan
benar, sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Menurut Lukman (1999:26) bahwa dalam arti kualitas
pelayanan, sudah tercakup {performance, reliability), mudah dalam penggunaan
(easy to use), estetika ( esthetics) dan sebagainya.
Lukman (1999:27) menyatakan bahwa secara garis besar,
kualitas pelayanan dapat dikaji dari dua aspek, (1) human factor dan (2)
non human factor. Hal itu scnada dengan apa yang dikemukakan oleh
Milakovich (1995:75) bahwa peningkatan pelayanan publik dapat dicapai apabila
tertatanya (I) physical surroundings, (2) sistem processes dan (3) human
resources.
Human factor dalam pelayanan publik merupakan
aspek utama yang harus ditangani. Sistem processes adalah berkaitan dengan
kesiapan aspek sumber daya manusia untuk menjalankan sistem dan proses,
pemberian pelayanan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh sumber daya manusia,
pegawai dalam organisasi yang memiliki perilaku yang berbeda-beda. Manusia
dengan perilakunya, cenderung mencari keuntungan sendiri (opportunitie
behaviour), dengan keterbatasan nalar dan pengertian (bounded
rationality) serta gejala agent and principle (Pfeffer: 1982) dan Garton
(1996).
Berbagai gejala perilaku yang negatif atau perilaku
yang tidak sama atau bahkan berlawanan dengan tujuan organisasi dalam pemberian
pelayanan publik, harus ditangani melalui pembinaan perilaku organisasi, agar
perilaku organisasi yang terbentuk adalah perilaku yang positif, dalam arti
perilaku yang mendukung terwujudnya pelayanan publik yang bermutu.
Keberhasilan proses pembinaan prilaku organisasi akan
memperkujat budaya organisasi yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu
pelayanan publik pada
Pemerintah Daerah Kabupaten maupun Kota. Bentuk
pelayanan publik pada Pemerintah Daerah lebih banyak bersentuhan dengan
perilaku pegawai yang merupakan faktor penentu perilaku organisasi. Oleh sebab
itu, terwujudnya perilaku organisasi yang positif akan menentukan baik atau
buruknya mutu pelayanan publik pada organisasi Pemerintah Daerah.
Strategi
Pembinaan Perilaku Organisasi Pemerintah Daerah
Secara konkrit, pembinaan perilaku organisasi
pemerintah daerah dilakukan dengan beberapa kegiatan nyata sebagai berikut :
1. Memperjelas uraian tugas dalam struktur
organisasi atau defining trask, sehingga semua pemangku jabatan tugas
mengerti dan mengetahui tugas pokoknya, tugas pokok orang lain, arah koordinasi
dan integrasi dalam struktur dengan jelas.
2. Mngembangkan norma-norma organisasi yang
hidup dan dipedomani dalam organisasi ditaati dan eksis dalam intruksi internal
organisasi.
3. Membudayakan nilai-nilai dan norma tersebut,
dengan menebarkan prinsip reward and punishment yang seimbang.
4. Menciptakan iklim kerja yang memberikan
harapan positif dan kondusif yang berfungsi sebagai aspek motivasi yang kuat.
5. Membangun pola sistem payment yang
berbasis kinerja secara adil dan proporsional sehingga tercipta rasa keadilan
yang berdasarkan bobot tugas birokrasi.
6. Membangun pola karir yang transparan, fair
dan adil yang akan memberi harapan bagi seluruh aparat birokrasi Pemda untuk meningkatkan
proporsionalisme dalam pengembangan karirnya.
Penutup
Pembinaan perilaku organisasi merupakan strategi yang
harus ditempuh bersamaan dengan penataan organisasi dan ketatalaksanaan
birokrasi pemerintah daerah, secara simultan dan berkesinambungan sehingga
terwujud birokrasi pemerintah daerah yang profesional dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Pengalaman selama ini dimana penataan kelembagaan
yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa diimbangi atau disertai dengan
pembinaan perilaku organisasi telah menyebabkan mandegnya proses peningkatan
pelayanan publik pada pemerintah daerah.
Mutu pelayanan publik pada organisasi pemerintah
daerah banyak ditentukan oleh aspek manusiawi dari birokrasi dalam hal perilaku
aparat birokrasi tatkala memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga upaya
pembinaan perilaku organisasi menjadi suatu hal yang strategis bagi pemerintah
daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar